"Kapan nyampe nya, Zay?" tanya Nathan sambil menoleh ke belakang untuk berbicara langsung pada temannya sambil sesekali menyibak beberapa tanaman liar dengan tangannya.
Hening, tidak ada jawaban. Nathan memilih kembali menghadap jalanan di depannya, menghiraukan jawaban kosong tersebut. Hal itu justru menarik perhatian Maven yang berjalan paling depan, memimpin perjalanan.
"Orang nanya tuh di jawab, jangan diem aja." ujarnya dengan nada sedikit menyinggung. Hampir saja menolehkan kepalanya menghadap belakang, namun dengan cepat hal itu dibatalkan oleh Nathan.
"Terus jalan. Jangan sesekali noleh ke belakang."
"Emang kenapa, sih?" Meski penuh keheranan, Maven tetap menurut. Dia mengurungkan niatnya untuk menoleh dan melanjutkan langkahnya.
"Nggak baik aja. Kita harus melihat masa depan, jangan balik lagi ke masa lalu." jawabnya.
William berpegangan pada ujung kemeja yang dikenakan oleh Dafian. Merasakan hal tersebut, si empunya baju berusaha meraba-raba tangan William yang berjalan di belakangnya. Tangan mereka bertemu. Dafian meremas jari jemari William, meyakinkan temannya bahwa tidak akan terjadi sesuatu apapun yang membahayakan nyawa mereka.
Saat terus melangkah, remaja-remaja di sana tiba-tiba mendengar suara tertawa cekikikan yang singkat dari balik semak-semak di samping kiri. Mereka tersentak dan menghentikan perjalanan, sempat mengalami keheningan beberapa saat.
"Denger, nggak?" Bisik Dafian tepat di telinga Maven dengan mencondongkan tubuh ke depan.
"Kita salah denger kayaknya." balas Maven.
"Nggak mungkin. Sedangkan kita semua sama-sama denger! Apa jangan-jangan itu hantu?" Dafian membantah lantaran yakin bahwa kawan-kawannya juga menangkap suara tawa tersebut.
Nathan terlihat panik. Ia menepuk-nepuk tubuh Devano di sampingnya "Senter mana senter?"
"Kalau ada udah dari tadi kita pakai senter! Bodoh lo, bang!"
Baru kali ini Nathan mendengar panggilan 'abang' dari mulut si bontot. Diam-diam Nathan tersenyum, merasa bahwa kata singkat itu membuat malam ini menjadi indah, walaupun terdapat kata kasar di dalam kalimatnya. 'Bodoh.'
"Ayo jalan lagi." ucap Maven.
Baru beberapa langkah melanjutkan perjalanan, sekelompok remaja itu kembali terkejut ketika semak-semak tadi bergerak, padahal sekarang cuacanya tidak berangin. Jantung mereka berdegup kencang, perlahan menolehkan kepala menghadap sumber suara.
"PERMAINAN BELUM SELESAI!" Pekikan suara muncul, diiringi melompat nya seseorang dari balik semak-semak ke depan mereka, otomatis berhadap-hadapan langsung dengan Maven.
Sosok tersebut mengenakan kostum badut, membawa sebuah balon gas helium berwarna merah serta kantong plastik hitam. Pakaiannya tampak lusuh berlumuran darah. Entah itu darah asli atau bukan, yang pastinya mereka saat ini sangat ketakutan. Badut tersebut menyeringai dan perlahan mendekat.
Maven merentangkan kedua tangannya, berusaha untuk melindungi kawanannya di belakang. Melihat usaha Maven, badut itu meraih paksa tangan lawannya lalu menarik tubuh Maven ke dalam pelukannya. Badut itu memeluk Maven dari belakang, tangannya yang kosong melingkar pada leher Maven.
"Kalian pergi!" Pekik Maven, suaranya serak sambil mencoba melepaskan diri.
"Nggak bisa gitu, Ven!" Nathan balas memekik, dia mendekat untuk meraih tangan Maven namun dengan cepat perutnya di tendang oleh si badut.
"Mendekat berarti temanmu akan mati." ujarnya sembari tertawa melengking, mengencangkan lengannya pada leher lawan.
"AKH! GUE BILANG LARI!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [END]
Acak[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...