"Buku ini punya kamu?"
"Hm," jawab Maven dingin ketika pria yang duduk di depannya sedang mengintrogasi nya di dalam ruangan punishment.
"SUDAH BERAPA KALI PAPA BILANG, KAMU ITU JANGAN JADI PENULIS! MEMANGNYA APA KEUNTUNGAN DARI HOBI SIALAN INI?!" Pria itu menghempaskan buku diary berwarna biru ke atas meja.
Maven mengangkat sebelah alisnya, menatap Wijaya-Ayahnya dengan senyuman tipis, seperti sudah terbiasa dengan perilaku ayahnya itu. Wijaya bangkit dari duduknya, berjalan ke belakang Maven lalu mengeluskan jari-jarinya dengan lembut ke leher sang anak.
"Kamu anak tunggal, Maven. Dan papa mau kamu menjadi orang yang meneruskan perusahaan agar hidup kita selalu berada di atas."
"Maven tidak ingin menjadi seperti Papa. Gila harta."
Mendengar jawaban ketus dari anaknya, Wijaya mencengkram leher Maven dengan erat, karena cekikan itu, Maven mengeluarkan erangan parau.
"Akh!" Dengan cepat Maven menyingkirkan tangan ayahnya dari lehernya. Ia berdiri, berbalik menghadap ke arah Wijaya. "Kenapa, Pa? Kenapa Maven selalu dituntut untuk menjadi penerus perusahaan?! Maven hanya ingin menjadi penulis seperti yang disuruh oleh Almarhumah Mama!"
PLAK!
Tamparan keras melayang mengenai pipi sebelah kiri Maven, membuat si empunya oleng ke samping. Maven dengan sigap kembali ke posisi semula sembari merapikan jaket yang ia kenakan.
"Apakah anda sudah puas, Tuan Wijaya?Jika belum, silahkan ambil pisau di dapur dan habisi anak tidak berguna ini." Wijaya terdiam, tangannya mengepal kuat, nafasnya memburu, jelas bahwa sekarang emosinya sedang memuncak.
"Diam di sini. Jangan memohon keluar sampai Papa yang mengizinkanmu untuk keluar."
"Isn't it usually like that? Lagipula, untuk apa Maven memohon? Harga diri Maven terlalu tinggi untuk melakukan hal yang tidak berguna seperti itu." Maven menyunggingkan senyuman miring saat melihat ayahnya keluar dari ruangan tersebut dan mengunci pintunya dari luar.
Maven terkekeh pelan, matanya mulai menelusuri setiap sudut ruangan punishment. Dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, perlahan Maven melangkah mengitari ruangan yang hanya diterangi oleh lampu sayup. Mata Maven menyipit ketika pandangannya menangkap sesuatu di atas lemari tua yang terbuat dari kayu jati. Tangannya terulur untuk mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam. Karena tinggi badannya yang setara dengan lemari, ia tidak perlu lagi susah-susah berjinjit saat mengambilnya.
"Kotak apa ini?" Dahinya berkerut dengan tangan yang menutup hidung di saat ia meniup tutup kotak berdebu. Diliputi oleh rasa penasaran, ia memberanikan diri untuk membuka tutup kotak itu. Matanya terbelalak kaget melihat isi kotak tersebut.
"Huh? Rumah kita?" gumamnya dikala mendapati ada foto sebuah rumah bertuliskan 'Rumah Kita' serta tertera alamat lengkap dari rumah di foto itu.
"Rumah siapa? Siapa yang nyimpen foto ini, ya? Apa mungkin Papa? Atau papa punya rumah selain yang gue diami sekarang? Sip. Gue harus nunjukin ini sama temen-temen." Maven mengangguk pada dirinya sendiri dan memasukkan foto rumah itu ke dalam saku celananya. Dia meletakkan kembali kotaknya ke atas lemari.
"Sedang apa kamu?"
Lantas Maven langsung berbalik, melihat sang ayah sedang berdiri tegap di ambang pintu. Maven berdeham, mencoba mendapatkan kembali ketenangannya agar tidak panik.
"Berjalan-jalan saja, menelusuri seperti apa ruangan ini jika dilihat lebih detail."
"Lalu, kamu menemukan hal istimewa di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [END]
Acak[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...