25. Him? The First One

32 3 12
                                    

"Kak liat ada lampu sorot di sana!"

Lampu sorot yang menyita perhatian Jirin di tengah perjalanannya menuju sekolah Theo yang terlihat seperti menari-nari di tengah gelapnya langit malam. Wajahnya terlihat antusias melihat lampu itu yang setiap detiknya berganti warna dan menerka-nerka seperti apa jadinya acara Graduation Kakaknya. Theo yang duduk di sebelahnya hanya bisa menatap sinis Adiknya ini dan kembali fokus pada ponselnya dengan earpods yang menyumbat di kedua telinganya.

"Denger gak sih aku ngomong!"

"Heh! Lu liat lampu sorot aja udah kek liat cogan berjejer di trotoar. Rempong amat sih lu."

"Enggak, maksud aku tuh acara Kakak pasti mewah banget sampe nyewain puluhan lampu sorot."

"Rempong." Ucap Theo ketus.

"Mah, liat Kakak."

Jingga terlihat memijit pangkal hidungnya mendengar perseteruan kedua anaknya. "Ya pantaslah Jirin, orang minta biayanya juga lebih dari satu minggu jatah jajan kalian."

Reaksi yang diberikan Jirin hampir membuat mulutnya robek karena terlalu lebar terbuka. "Jatah jajan Jirin aja satu minggu itu udah satu juta, itu juga kadang masih kurang. Gila aja kali Kak, sekolah Kakak royal banget."

Theo tidak memedulikan bagaimana reaksi berlebih Adiknya itu dan matanya tetap fokus pada ponselnya. Bukan sembarang bermain fokus, mata dan jemarinya sedang menunggu postingan seseorang yang mungkin akan terlihat berbeda pada malam ini. Dirinya mendengus lantaran postingan yang muncul hanya anak-anak lain yang menurutnya spam di kolom status dua puluh empat jam miliknya. Matanya terfokus pada salah satu postingan sahabatnya menuntun tangannya untuk menekan status tersebut untuk dilihat secara jelas.

Itu postingan milik Daron bersama geng yang lainnya dengan gaya absurd kecuali dirinya yang masih dalam perjalanan.

"Eum bagus kagak nungguin gue." Ketiknya pada kolom komentar status dan mengirimnya pada Daron.

Setelah mengetik beberapa kata itu untuk Daron, bahkan roda empat yang masih ia tumpangi sudah berhenti tepat di lahan yang sudah terjejer rapi beberapa kendaraan lainnya. Theo beserta keluarganya keluar dan dikejutkan dengan sound system yang menggelegar di telinga mereka. Berjalan beriringan menuju venue berlangsungnya acara, disambut di pintu lobby oleh dua orang panitia acara yang merupakan anggota OSIS yang baru saja di lantik beberapa minggu yang lalu. Yang dikatakan Jirin ada benarnya, begitu meriahnya pesta perpisahan ini sampai adiknya kagum sendiri.

"Woy! Yaelah bambang lama amat-- eh Tante apa kabar?" Yuda lantas membungkuk dan mencium tangan Jingga.

"Kabar baik, nak." Jingga tersenyum.

"Yaudah Theo gabung ama yang lain ya. Mama sama Jirin bisa duduk di sana." Jingga lantas menyeret tangan Jirin untuk duduk di kursi yang menghadapkan langsung dengan panggung.

"Anjay, anak stylish mah beda yah. Aura modelnya keluar." Mahes tiba-tiba datang menghampiri mereka berdua dan langsung memujinya.

"Ini mah ke sebut 'b' aja menurut gue."

"Gak akan 'b' aja kalo di sandingin sama spek bidadari yang lagi jalan ke sini."

Theo dan Mahes bersama melihat ke arah seorang gadis semampai yang berjalan beriringan bersama seorang pria yang tengah menggandeng lengannya. Parasnya yang cantik membuat siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Begitu pun dengan Theo yang terjebak akan kecantikannya. Dirinya tidak bisa menutup mulut kalau saja Mahes menyadarinya dengan menekan dagunya.

"Kicep woy, mangap terus, kesedak lalet baru tahu rasa." Yuda mendengus dengan reaksi yang dimunculkan Theo.

"Tapi emang serius sih, Hanu cantik pake banget pake gaun itu. Berasa mau ijab sekarang ye." Mahes menyenggol lengan Theo membuatnya sadar seketika.

You Must be Mine (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang