Jisa lantas menancapkan pedal gas kendaraannya usai mendengar seruan tangis Rosie yang begitu memilukan melalui sambungan telepon tadi. Pekarangan villa milik Kenny yang sering kali mereka pakai untuk sekedar menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan, kini terlihat sepi saat Jisa mematikan mesin mobilnya. Berjalan begitu terburu untuk meraih kenop pintu, tepat di depannya sudah menampakkan wajah bengkak Rosie yang menatap ke arahnya. Begitu juga dengan Risa. Mereka berdua terlihat saling menenangkan diri dilihat dari cara mereka mendekap tubuh satu sama lain.
"Jisaaaaa. Gue harus gi-gimana?" Tangis Rosie kian menderas kala Jisa mendekatinya.
Padahal juga sebetulnya Jisa pun bingung dengan keadaannya sendiri. Dirinya pun mendapat imbas juga karena perihal rencana Kenny yang turut terjun dalam jurang gelapnya.
"Si Kenny mana?" Selain tujuannya untuk Rosie, Jisa pun turut mendatangi Kenny yang tidak tampak menghadiri tempat ini.
"Gak tahu. Udah ditelepon juga kagak aktif."
Jisa jadi frustrasi sendiri. Mendengar kabar dari Ibunya yang dirinya dinyatakan di drop out langsung dari pihak sekolah. Sejak kepulangan Ibunya pasca menghadiri rapat kelulusan itu, tiada hentinya telinganya menerima beberapa kata-kata sarkas yang baru saja hadir dalam sepanjang hidupnya. Untuk pertama kalinya ia mendapat perlakuan itu, memilih mengurung diri di kamar demi menghindari suara-suara sergah yang didapatinya dari keluarganya sendiri.
"Gu-gue harus tinggal di mana? Gue udah gak punya rumah, Jis. Ortu gue ngusir gue dari rumah."
"Boro mikirin elu, Sie. Gue juga puyeng mikirin diri sendiri gimana ke depannya." Jisa terlihat menerawang bagaimana ia bisa hidup ke depannya.
"Elu juga? Padahal kan, lu gak berbuat banyak." Kini giliran Risa yang bertanya.
"Gak berbuat banyak gimana Ris! Ada gue di video itu." Ujarnya dengan nada sergah.
Mereka kembali diam, memikirkan jalan keluar untuk mendapatkan reputasi mereka kembali lagi padanya. Namun jika dipikirkan kembali, akan terasa sulit jika sudah kabarnya menyebar luas seperti ini. Pandangan orang pada mereka akan tetap terlihat buruk walau mereka sudah melakukan perbuatan positif apa pun itu.
"Kalau aja gue gak pernah kenal yang namanya si Kenny. Mungkin kejadian dramatis ini nggak akan pernah hadir di kehidupan gue."
"Emang elu sanggup?"
Bukan Risa maupun Rosie yang berkata demikian, karena mereka masih dalam terhanyut dalam tangisnya. Ketiganya memutuskan untuk menoleh secara bersamaan pada ambang pintu yang belum sempat tertutup. Sudah menampakkan Kenny dengan penampilan paling buruk yang pernah mereka lihat. Yang menyita perhatiannya adalah wajah Kenny yang begitu penuh dengan luka lebam.
"Kenapa malah diem? Emang lo semua kagak tahu rasa terima kasih ya. Karena kalo gak ada gue, lu semua bakal terus kesiksa seumur hidup gara-gara mereka. Lebih tepatnya elu Jisa!"
Tatapan tajam serta bulir air yang menetes di kedua matanya tertuju pada Kenny. Tangan terkepal menahan gejolak amarah yang sebisa mungkin ia tahan dan tidak membludak di sini.
"Terus kalo udah gini gimana Ken? Nasib kita ke depannya gimana? Emang lo sanggup tanggung biaya hidup kita. Pasti lo sendiri juga sama hal nya kan sama kita? Udah jelas tergambar di muka lo." Ujar Risa yang susah payah mengontrol sengguknya.
"Lo nyalahin gue?" Ujar Kenny tidak menerima.
"Kan dalang dari semua ini cuman gara-gara lo, Adyanata! Gue udah bilang dari awal kalau semua rencana lo itu bakal berakhir buruk kek sekarang. Udah jelas kan, sekarang lo harus tanggung jawab sama kehidupan kita sekarang." Tak dapat terbendung, akhirnya gejolak amarah Jisa meluap keluar disertai telunjuknya mengarah pada Kenny bak lesatan anak panah. Cukup menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Must be Mine (SELESAI)
FanficNEW VERSION!! Hanu tidak mengira, jika Ibunya melakukan rencana perjodohan yang sama sekali tidak dirundingkan terlebih dahulu dengannya. Bahkan ia harus mengorbankan hubungannya yang sudah terjalin semenjak zaman memakai seragam putih-biru. Siapa...