Hari ketiga setelah hilangnya kabar Yogi, Mama Yogi beserta Jemi dan Jeka mencari keberadaannya yang sampai sekarang belum juga ditemukan. Mama Yogi terus gelisah dan khawatir takut anaknya itu melakukan hal yang tidak diinginkannya hanya karena masalah yang dihadapinya terbilang cukup rumit menurutnya untuk diterima. Puluhan panggilan keluar dan pesan singkat memenuhi di kontak nomor Yogi dari ponsel Ibunya maupun dua orang teman anaknya itu. Sejak itu pula, Mama Yogi tidak bisa berhenti menangis membuat Jemi dan Jeka ikut khawatir padanya seperti sekarang ini.
"Bagaimana ini, nak? Yogi tidak ada di mana pun."
"Tante jangan putus harapan, Yogi pasti bisa ditemukan." Ujar Jemi menenangkannya.
"Iya Tante. Lebih baik kita beristirahat dulu sejenak, semenjak kita berangkat dari rumah, Tante belum makan apa pun." Jeka menimpali.
"Tante nggak lapar, nak. Tante tidak akan makan kalau Yogi belum juga ditemukan."
"Tante gak boleh ngomong gitu. Kesehatan yang paling penting, Jek parkirin mobil dulu ke tepi."
Jeka menuruti perintah Jemi untuk memarkirkan mobilnya di tepi jalan yang di seberangnya ada sebuah motel. Jemi terlebih dahulu turun dari mobil, diikuti oleh Mama Yogi dan Jeka di belakang.
"Jek, lo tunggu di sini sebentar sama Tante Yeva. Gue mau cari dulu sesuatu yang bisa mengganjal perutnya."
"Yaudah sono pergi."
Jemi berlari kecil dari tempat sebelumnya yang entah ke mana ia akan pergi. Sementara Jeka dan Yeva duduk di bangku yang tersedia di sana menunggu kedatangannya. Jeka sesekali menatap iba Yeva yang menatap lurus ke depan dengan wajah yang jelas sekali sangat lelah bercampur rasa khawatir. Sempat ia berpikir, mungkin Ibunya juga akan seperti ini jika dirinya berlalu-lalu menghilang tanpa adanya kabar. Ia bisa merasakan apa perasaan Ibunya seperti apa yang ia rasakan pada Ibunda Yogi. Dari situ juga ia merasa bersalah pada Ibunya jika ada kesalahan atau apa pun yang dapat mengiris hatinya secara tidak sengaja maupun disengaja.
Tak lama dari itu juga, Jemi datang dengan tangannya menggandeng sebuah kantung plastik besar berisikan tiga botol air mineral dan juga beberapa roti yang terbungkus apik dalam plastik perekat. Jemi duduk di samping Yeva, membukakan salah satu bungkus roti lalu diberikannya padanya.
"Tante makan ini dulu. Jemi gak mau Tante sakit hanya gara-gara ini. Setidaknya ada yang masuk sedikit dan bisa mengganjal perut Tante."
"Kamu tidak perlu berlebihan seperti ini, nak. Tante gak lapar."
Jeka yang selepas minum, menutup kembali botol air mineralnya. "Yang dikatakan Jemi benar Tante. Kalau Yogi tahu Tante sakit karena telat makan, dia akan marah pastinya." Desak Jeka.
Yeva menatap Jeka sebentar, lalu menatap pada satu buah roti yang masih dipegang Jemi. Sempat ia ragu untuk menerima tawaran roti itu, melihat Jemi yang menganggukkan kepalanya seakan menyuruhkan untuk mengambil roti tersebut, akhirnya ia menerima. Jemi tersenyum saat satu gigitan roti berhasil masuk ke dalam mulut Yeva yang dikunyah secara perlahan. Jeka pun terlihat tersenyum, akhirnya usaha Jemi membelikan makanan untuknya tidak berakhir sia-sia.
Tangan Jemi merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang yang dulunya dekat dengan Yogi. Jemarinya terlihat naik turun mencari nomor tersebut dan segera menekan tombol panggilan. Hanya menunggu beberapa detik untuk tersambung olehnya dan berhasil diangkat oleh pemilik nomor tersebut.
"Halo, Jem. Tumben nelepon, ada apa nih?"
"Ran, liat Yogi gak akhir-akhir ini? Atau kapan lo terakhir kontekan sama dia."
"Uh gue sama Yogi akhir-akhir ini jarang kontekan. Ya maklumlah sama-sama sibuk di sekolah. Terakhir kontekan juga udah lama sekitar tiga bulan yang lalu lah. Ada apa gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
You Must be Mine (SELESAI)
FanfictionNEW VERSION!! Hanu tidak mengira, jika Ibunya melakukan rencana perjodohan yang sama sekali tidak dirundingkan terlebih dahulu dengannya. Bahkan ia harus mengorbankan hubungannya yang sudah terjalin semenjak zaman memakai seragam putih-biru. Siapa...