Ketika yang seharusnya suasana kantin ini berakhir dengan penuh senda gurau sembari mengisi perut yang kosong setelah dipakai untuk bergelut sesaat dengan mata pelajaran seperti perhitungan aljabar matematika atau menyusun surat di dalam map snelhecter yang rumitnya melebihi rancangan perjalanan hidup. Begitulah yang dirasakan Theo. Bahkan sesaat hatinya mengiris saat melihat gelak tawa Hanu yang terlepas bebas bersama kawannya yang lain. Yang membuatnya begitu alasannya hanya sepele, karena tawa yang dia hasilkan itu bukan berasal dari tindakannya.
Memang penyesalan selalu datang di akhir. Rasa itu kian membuntuti ke mana pun kehendaknya berlalu tanpa merasa bersalah kepada sang empu. Eksistensi dirinya yang berpacu pada obsesi untuk mendapatkan hati Hanu sepertinya akan berakhir sia-sia. Seluruh isi dari otaknya tengah bekerja keras mencari solusi serta tindakan apa yang harus dilakukan agar sang pemilik hati luluh hanya dengan satu reka adegan yang dapat meluruhkan segenap apa yang telah mencoreng namanya dalam jalan yang telah dilalui.
"Lo waras? Ini konsepnya lagi ngeprank lambung apa gimana?" Theo tersentak dari lamunannya hingga ia tidak sadar sudah hampir menghabiskan setengah mangkuk kecil berisikan sambal ke dalam mangkuk baksonya.
Sampai pada detik ini, hatinya masih dilanda rasa keirian kepada seseorang yang sudah berlabuh pada hati Hanu. Seperti yang sudah didengar sebelumnya, ia mendapat kabar bahwa sang pujangga hati Hanu sudah kembali bersekolah usai tragedi itu berlalu.
"Kepikiran apa sih bro? Kalo emang bener khawatirin soal isi dompet lo, keknya itu gak perlu deh."
Theo tidak mengindahkan bagaimana celetukan Daron dan lebih memfokuskan pandangan pada objek yang membuat hatinya merasa sedikit sejuk saat melihatnya. Tapi ditepis kembali oleh kenyataan yang membuat senyumnya sirna seakan ingin menyingkirkan apa yang menjadi alasan nyatanya itu.
"Eh, eh Nu. Orang onoh liatin lo terus dah dari tadi." Unjuk telunjuk milik Yozita berhasil mengalihkan perhatiannya pada meja yang diduduki Theo.
Hanya mengedikkan bahu sebagai respons darinya. "Bodo amat. Biarin aja dia seumur hidup dilanda rasa penyesalan."
"Eh kalo ngomong-ngomong soal penyesalan, sempet tadi gue perhatiin si Theo tuh murung terus dari kemaren-kemaren." Imbuh Nara.
"Ora urus." Ujar Hanu seraya menyelusupkan satu bulatan kecil bakso ke dalam mulutnya.
Memang jika diingat kembali beberapa jam yang lalu. Seperti saat awal dia masuk ke dalam kelasnya, dia tidak seperti yang saat ini. Kadang perbuatan nyeleneh yang dilakukan kepada kawan karibnya atau bahkan sempat Hanu menangkap momen dirinya pernah menjahili teman perempuan sekelasnya. Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh Nara, dirinya sedang dirundung rasa penyesalan darinya saat ia tahu bahwa Theo masih mengejar perasaannya.
Berdecih dan tidak peduli apa yang akan dilakukannya ke depan. Yang mesti harus ia komitmen dengan apa yang telah dibangun dalam hidupnya selama ini. Terlebih khusus pada hubungannya. Selama tiga tahun kurang tak luput hubungannya yang diterjang ombak berkali-kali. Jika memang akan ada ombak yang datang kembali, ia harus mempersiapkan diri dari sekarang agar tidak ikut terseret ke dalam perihal kehilangan nantinya.
Dari pada sibuk memikirkan apa yang seharusnya tidak penting, memilih mengalihkan perhatiannya pada layar ponsel yang menampilkan pesan dari balon notifikasi yang membuatnya sumringah setelah membukanya.
"Hanu mau ke mana?" Teriak Yozita saat Hanu tiba-tiba saja beranjak tanpa menghabiskan porsi baksonya.
"Perpus!"
"Ngapain tuh anak tumben-tumbenan ke Perpus?"
"Gak usah heran, palingan ngalihin fakta mau minjem buku." Ujar Dona santai setelah menpraduga apa yang ada di benak Hanu.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Must be Mine (SELESAI)
FanficNEW VERSION!! Hanu tidak mengira, jika Ibunya melakukan rencana perjodohan yang sama sekali tidak dirundingkan terlebih dahulu dengannya. Bahkan ia harus mengorbankan hubungannya yang sudah terjalin semenjak zaman memakai seragam putih-biru. Siapa...