Pintu loker yang biasa digunakan untuk menyimpan barang pribadi siswa maupun siswi kini menjadi saksi bisu menatap wajah hampa Harun yang sudah menghabiskan waktu mungkin kurang lebih sepuluh menit lamanya. Harun bahkan tidak tahu bagaimana orang-orang yang berada di sekitarnya menatap aneh padanya dengan berdiam diri di depan pintu loker yang terbuka lebar itu. Bahkan ia belum siap mengganti pakaian seragamnya mengingat sebentar lagi jam pelajaran olahraga akan segera di mulai.
"Heh! Bengong lu?!"
Harun mengerjap, terkesiap dengan kedatangan seseorang yang tiba-tiba membuat atensi detak jantungnya berdebar dua kali lebih cepat.
"Bab* lu. Kaget gue."
"Ya lagian siapa suruh malah bengong di sana, bukannya ganti baju."
Harun berdiam sejenak. "Kayaknya gue, gak bisa olahraga deh."
"Kenapa?"
Tak merespon dengan kata, Harun menggantinya dengan menyibak masker yang menutupi hidung dan mulutnya. Kontan membuat teman sekelasnya itu tercengang dengan melihat kondisi wajah Harun saat ini.
"Omaygat! Kronologinya ini gimana sampe benyok gini?"
"Semuanya terjadi karena yang viral kemaren di kantin itu."
Darian nampak memijit pelipisnya, berusaha mengingat apa yang terjadi di kantin kemarin. "Masalah yang ribut itu bukan sih?"
"Iya. Emang lu kagak tau kalo adek gue yang jadi korban kemaren."
Mata Darian tampak membola. "Heh serius anjir! Aslian gue kagak tau."
"Males ah." Ujarnya sembari membanting pintu loker dengan kasar.
"Eh kok ngamok! Lu jadi olahraga gak sih, kayak gak tau si Jalaludin Akbar aja kalo ada murid yang absen woy!"
Sinar mentari pagi ini rasanya ingin membakar kulit saat menapakan kaki di lapangan luas ini. Padahal ini baru jam delapan, tetapi panasnya sudah hampir setara dengan terik matahari saat jam dua belas siang. Ya, Harun memang memutuskan untuk ikut jam pelajaran hari ini setelah menimang apa yang dikatakan Darian tadi di area loker. Dilihat di seberang matanya, sudah ada banyak teman kelasnya yang lain sudah berjejer rapi membentuk barisan 8 orang berderet ke belakang. Segera Harun mempercepat langkah kakinya setelah mendengar Pak Jalal sudah mengeluarkan suara lantang mengabsen data murid yang mengikuti pelajarannya kali ini.
"Kabar lo gimana semalem?" Tanya Yogi setelah dia tahu Harun menempati barisan kosong tepat di sebelahnya.
"Seperti yang lo liat. Kacau."
Yogi hanya menganggukkan kepalanya lantas tangannya mengacung ke atas saat namanya di sebut. "Jaga-jaga aja, barangkali dia belum kapok."
Harun menyernyit tak mengerti maksud dari ucapan Yogi barusan. Melihat tatapan nyalang Yogi membuat matanya turut menginterupsi apa yang menjadi perhatian matanya di depannya. Sekilas hanya kumpulan siswa dibalik pagar kawat yang membentang menutupi sisi lapangan serta dua siswi yang berada di depannya. Tapi jika dilihat secara intens, sepertinya bukan seseorang yang asing di matanya setelah kembali memfokuskan pusat perhatiannya lebih dalam kepada kumpulan orang-orang itu.
Hanya satu fokusan saja membuat atensi api yang berada di dalam benaknya kembali mengeluarkan bara sedikit demi sedikit. Setelah dia tahu ternyata orang itu adalah sekawanan komplotan Theo tengah berbincang dengan orang yang tentu pasti kenal dengan paras dari tubuhnya itu.
Bukan lagi kalo memang itu adalah Hanoona Dwikanya Juliansyah.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
You Must be Mine (SELESAI)
Fiksi PenggemarNEW VERSION!! Hanu tidak mengira, jika Ibunya melakukan rencana perjodohan yang sama sekali tidak dirundingkan terlebih dahulu dengannya. Bahkan ia harus mengorbankan hubungannya yang sudah terjalin semenjak zaman memakai seragam putih-biru. Siapa...