27. Keyakinan

25 2 0
                                    

Hingga pagi menjelang, bahkan Yogi sudah bangun sejak matahari belum menampakkan diri. Penyebab dirinya bangun lebih awal karena saat tertidur tadi, tubuhnya berguling ke bawah menabrak lantai keramik yang begitu dingin. Dan yang benar saja, tidur di atas sofa yang sempit membuat tubuhnya tidak bisa bergerak bebas dan alhasil berakhir seperti itu. Ditambah juga saat bangun tadi, badannya terasa lengket akibat semalaman tubuhnya berkeringat banyak akibat naiknya suhu ruangan. Biasanya jika suhu pada malam hari meningkat dari pada biasanya, sebab akan terjadi hujan berikutnya. Tapi seingatnya semalam dirinya tidak mendengar suara rintik air di atas genteng, mengingat dirinya terjaga malam itu dan baru terlelap dua jam yang lalu sebelum terbangun.

Dirinya berniat untuk mengunjungi kamar tidurnya yang dipakai untuk tidur seseorang yang ia tolong semalam saat acara perpisahan sekolahnya. Yang hanya ingat tempat teraman baginya yaitu, Rumahnya. Tidak mempedulikan bagaimana reaksi Theo malam itu, Yogi hanya fokus pada kondisi Hanu yang sudah sangat kacau. Bahkan Hanu hanya mengiyakan perkataannya saja saat meminta izin kepadanya untuk membawanya ke rumahnya. Dalam keadaan kepala yang tidak bisa berpikir jernih, Hanu membiarkan semua apa yang Yogi lakukan. Yang penting dirinya bisa menjauh dari situasi yang mencekam saat itu.

Saat kenop pintu ditarik, dapat Yogi lihat bagaimana posisi tidur Hanu yang meringkuh di bawah kungkungan selimut tebalnya. Dengan langkah perlahan agar sang empu tidak terbangun, Yogi duduk tepat di depan wajahnya yang mengarah langsung pada jendela kamarnya. Menyelisik dengan lamat bagaimana kondisi terbaru wajahnya pagi ini. Mata bengkak serta hidung merah yang dapat Yogi deskripsikan.

Kala Yogi membelai wajahnya, perasaannya campur aduk ketika kepalanya menangkap satu memori malam itu yang membuatnya sesak hingga saat ini. Dengan Hanu yang masih terlelap, ada satu lelehan air yang berhasil luruh pada satu kelopak matanya. Tentang dirinya yang saat itu tidak sengaja berada pada satu tempat yang sama ketika pertemuan keluarga itu terselenggara. Padahal dirinya sudah mempersiapkan sesuatu yang berharga yang akan ditunjukkannya selepas acara perpisahan sekolahnya nanti. Tetapi saat pembicaraan itu tidak sengaja ia dengar, rasanya semuanya runtuh kala itu juga. Hatinya bagai kertas yang diremas hingga nyaris tak dapat kembali ke asal mulanya.

Bahkan dirinya masih menyimpannya dengan apik di balik laci tepat di samping ranjangnya. Masih terbungkus rapi di dalam sebuah ruang berbentuk kotak hitam. Sebuah gelang rantai perak dengan bunga dandelion kering di dalam akrilik bening berbentuk bulat. Terlihat indah dan mungkin akan cocok ketika gelang itu melingkar di pergelangan tangan Hanu. Jika saja itu bisa menjadi nyata dan hanya bukan angannya saja. Awalnya ia ingin membuang itu, tapi ia urungkan dan dijadikan sebuah tanda bahwa dia pernah berjuang namun gagal di tengah perjalanan. Sebagai arti bahwa ia juga pernah dikuatkan dalam kondisi di mana dunia mendesaknya hingga ke inti bumi.

Layaknya bunga dandelion ini, walaupun di sebut bunga liar, tapi bunga ini dapat bertahan hidup di segala macam kondisi. Ia pun berharap kisah cintanya bersama Hanu selayaknya bunga dandelion ini.

Yogi mendengus kala sedang terhanyut dalam angannya, entah kenapa juga harus ada gangguan seperti getaran ponsel yang berada dalam saku celana pendeknya. Ia kembali menempatkan kotak itu ke tempat semula dan mengecek siapa yang meneleponnya di pagi hari seperti ini.

"Hanu udah bangun belom, Gi?"

Itu suara Harun. Yogi refleks menoleh ke arahnya yang memang masih terhanyut dalam mimpinya.

"Gue gak tega banguninnya cuman buat sekedar sarapan. Biar bangun sendiri aja nanti. Jelas banget keliatan capek."

"Gue tahu, gue cuman nanya doang. Jangan sewot elah. Tapi makasih banget sebelumnya. Kalo bukan karena lo, gue gak tahu di mana dia sekarang. Emang suka kalutan orangnya."

You Must be Mine (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang