11. 19 Tahun

1.6K 117 31
                                    

Bertemu kembali dengan tanggal merah di tengah aktivitas mingguan tanggal hitam. Selama itu pula mungkin bisa terhitung tiga hari sejak Syaila memutuskan untuk menginap di rumahnya menjadi berkepanjangan sampai hari ini. Dengan anggapan alasan menemani Hanu yang mengingat di rumahnya tidak ada lagi perempuan selain dirinya. Padahal Bi Mimin ia anggap apa kalau bukan perempuan. Hanu lantas melemparkan tatapan sinis yang dibalas cengiran olehnya. Kalau saja dia bukan saudara sendiri, respons seperti itu ingin dia tampar dengan telapak tangannya.

Suara ketukan pintu disertai dengan pembicaraan di luar kamar Hanu yang berasal dari perempuan paruh baya yang setia berada di rumahnya selaku membantu pekerjaan rumah tangga orang tuanya. Membawa tubuhnya untuk bangkit setelah tidak sengaja tertidur usai menunaikan ibadah sholat subuh tadi. Masih lengkap berbalut mukena serta sejadah yang terlentang sebagai alas untuk bersujud kepada Yang Maha Kuasa. Ia bahkan tidak menyadari kapan ia tertidur padahal tadi sempat bertadarus sejenak, dilihat dari kitab suci yang masih terbuka tepat di sisi sejadahnya.

Ternyata matahari sepertinya memaksa masuk ke dalam kamarnya setelah terlihat cahaya tipis dibalik gorden yang menutupi jendela. Tangannya menyibak seluruh kain penutup itu hingga akhirnya sinar mentari pagi dapat masuk ke ruangannya untuk memberikan rasa hangat di tengah turunnya suhu kamarnya. Hingga cahaya itu sempat menerpa seseorang yang masih terlena dalam dekapan selimut tebal lantas membalikkan badannya memunggungi arah jendela yang bersejajar dengan ranjang tidurnya. Rupanya sang putri tidur belum ingin dibangunkan.

"Bangun ogeb! Masa kalah sama ayam tetangga yang udah paduan suara dari subuh tadi." Hanu menjambak selimut itu sekaligus. Menampakkan tubuh Syaila yang tampak meringkuk di bawah kehangatannya.

"Lima menit lagi." Ujarnya menggeliat dan menarik guling untuk dipeluknya.

Kalimat lazim yang sering dijumpai rungunya pada siapa pun orang yang ketika dibangunkan untuk memberi jeda waktu. Hanu berkacak pinggang melihat kembali Syaila yang sepertinya memang kembali pada alam bawah sadarnya. Selintas ide itu muncul setelah melihat ponsel milik Syaila tergeletak di atas nakasnya. Dengan senyum jahil seraya mengambil ponsel miliknya yang masih terhubung dengan kabel pengisi daya yang berada di nakas sebelahnya. Mencabut kabel itu dan menggulir kontak milik Syaila.

"La, si Teja nelepon deh keknya." Dengan tawa tertahan, Syaila nampak langsung terbangun meraih ponsel itu yang bergetar lantas mengangkatnya.

"Halo, ay?"

"GILIRAN DIBANGUNIN SAMA AYANG LANGSUNG MELEK LO!" Teriak Hanu di atas speaker ponselnya, yang padahal masih bisa Syaila dengar meskipun bukan dari ponsel.

"Bangs*t lo, Hanoona!" Pekik Syaila seraya melayangkan satu bantal ke arahnya dengan sigap ia langsung menghindar ke arah balkon kamar.

Hanu tertawa sejadinya saat berhasil pintu balkon itu ia kunci dari luar. Dapat dilihat dengan jelas bagaimana bibir Syaila terlihat komat-kamit mencaci maki Hanu sebelum akhirnya beranjak menuju arah kamar mandinya.

Ia putuskan untuk berdiam di sini sejenak karena pemandangan pagi kali ini seolah mengunci raganya untuk tidak beranjak setelah duduk di Bean Bag yang menjadi tempat ternyaman dan favoritnya. Merubuhkan badan di atas permukaan empuk itu seraya memejamkan mata. Menikmati hangatnya mentari pagi sekaligus mengubah vitamin D yang berada dalam tubuhnya menjadu energi yang ia akan gunakan untuk beraktivitas hari ini.

Suara kicauan burung khas menambah etisensi raganya yang terjebak dalam relungan relaksasi di pagi harinya. Bahkan sampai suara berat juga Hanu sempat dengar di gendang telinganya. Berat dan juga memekik, itu lah yang di dengar Hanu. Lantas tubunya bangkit mencari sumber dari mana suara itu berasal yang telah merusak suasana tenangnya dan ingin melontarkan beberapa kata caci maki setelahnya.

You Must be Mine (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang