(23)

69 9 2
                                    

"Rafa mana? Anak aku mana?"

Pertanyaan itu membuat hati darel serasa teriris. Sakit sekali saat ibu kandungnya menganggap orang lain sebagai anaknya.

"Rafa nggak ada disini mah" ucap Darel sebisa mungkin menahan air matanya

"Kalo kamu nggak bisa bawa anak ku ke sini, pergi saja sana" usir sang ibu yang lagi-lagi membuat hati Darel hancur

"Anak mamah itu aku mah aku! Bukan si Rafa brengsek itu!" teriak Darel frustasi.

Rasanya dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi setiap perkataan menyakitkan dari ibunya itu.

"Jangan pernah sebut Rafa seperti itu! Anakku Rafa adalah anak yang baik, sama seperti papahnya" mamah Darel juga ikut berteriak

"Kalo Rafa anak mamah apa dia pernah jenguk mamah ke sini? Apa dia tau keadaan mamah sekarang?"
"Enggak mah, dia bahkan nggak tau kalau mamah itu hidup di dunia! Jadi tolong sadar!"

Darel benar-benar melampiaskan amarahnya yang selama ini sudah menumpuk.

"Darel capek mah" cicitnya pelan, dan bersamaan dengan itu, air matanya kemudian meluncur bebas membasahi pipi.

Sosok preman sekolah, yang terlihat tangguh itu nyatanya sama saja seperti anak remaja seusianya. Dia juga bisa terluka karena ulah orang dewasa.
Bahkan lukanya sangat dalam hingga Darel kehilangan arah.

Anak seusia dia harusnya sekarang tengah belajar dengan giat agar bisa lulus sekolah dan masuk ke perguruan tinggi.

Namun nyatanya Darel hidup hanya memikirkan caranya melepaskan rasa sakit yang perlahan mulai menggerogoti hatinya.

Rasanya ingin dia menyudahi semua dengan mengakhiri hidupnya, tapi dia merasa tidak adil, kenapa harus dia yang pergi? Kenapa bukan sumber penyakitnya saja yang pergi?

Ya, harusnya sumber penyakitnya yang pergi bukan?

Dengan amarah yang membara, Darel melangkah keluar dari ruangan yang 5 tahun belakangan ini sering dia kunjungi itu.

***
Disisi lain Rafa tengah menunggu Jelita yang sedang bersiap-siap untuk lari pagi bersama. Namun sudah 30 menit menunggu Jelita tak kunjung keluar dari kamarnya.

"Tumben lama dia siap-siap. Biasanya nggak sampe 15 menit" batin Rafa seraya mengecek jam tangannya

"Loh Raf, kalian belum berangkat?" tanya bunda Ica saat melihat Rafa masih duduk ditempatnya
"Belum tan, masih nunggu Jelita"
"Astaga, jangan bilang anaknya belum bangun. Udah kamu kabarin kan anaknya kalo kamu nunggu?"
"Udah tan, tapi belum di bls chat saya. Mungkin dia lagi mandi"

"Mandi apanya, pasti masih tidur anaknya ini. Tunggu sini ya Raf, tante panggilin dulu si Jeje"
"Iya tan"

Bunda Ica pun berjalan menuju ke kamar sang anak.
Dibukanya pintu bercat putih itu, dan terlihat Jelita masih tertidur.

"Yaampun Je, bangun!" teriak bunda Ica seraya menyibak selimut yang menutupi Jelita

"Eugh" Jelita menggeliat pelan

"Anak gadis kok masih tidur jam segini. Bangun! Itu Rafa udah nunggu di bawah"
"Males ah bun. Biarin aja dia nunggu. Jeje lagi kesel sama dia"
"Bunda nggak pernah ngajarin kamu buat nggak ngehargain orang ya! Sekarang cepet bangun atau bunda siram kamu!" omel bunda Ica yang membuat Jelita akhirnya bangun walau dengan berat hati.

"Sumpah ya, udah jadi pacar tetep aja nyebelin lo es batu" batinnya kesal seraya berlajan menuju kamar mandi untuk mencuci muka

***
Rafa tersenyum saat melihat sang kekasih yang akhirnya turun.
"Good morning sayang" sapanya seraya menghampiri Jelita, hendak memeluk pacarnya itu, namun Jelita segera mengelak

My Privat Teacher Became My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang