Saat bel istirahat berbunyi, semua siswa berhamburan menuju kantin. Dalam sekejap mata, kantin sudah berubah menjadi lautan manusia yang kelaparan. Termasuk Shaga dan kedua saudaranya yang sedang bermain ponsel.
"Ah, kenyang banget sama angka. Untung aku gak muntah," keluh Shaga.
"Makanya belajar," sahut Savalas masih belum lepas dari ponsel.
"Ih, aku udah belajar. Emang dari dulu gak pinter matematika aja."
Savalas mengangkat bahunya tidak peduli. Meskipun Savalas terlihat biasa saja setelah ujian berakhir, pemuda itu memendam kekhawatiran akan nilainya. Apakah nilainya akan turun, tetap di nilai yang terakhir, atau meningkat?
Kalau saja nilai ujiannya turun, bagaimana cara pemuda itu memberitahu hasil ujiannya jika Tamara dan Devian menanyakan nilai kepada mereka bertiga?
"Abang, traktirin kita bakso dong, yang pedes," rengek Shaga melirik Sagara dengan tatapan memohon.
Kerutan di dahi Sagara terlihat, memperjelas bahwa Sagara menolak. "Kenapa gak beli sendiri pake uang yang di kasih mama?"
"Ih, maunya di traktir Abang. Savalas juga pasti mau ditraktir Bang Gara, iya kan?"
Savalas melirik, lantas mengangguk singkat dan menyimpan ponsel miliknya.
Melihat tingkah laku mereka yang sepertinya sangat ingin ditraktir, Sagara memutarkan kedua bola matanya, lantas beranjak dari tempat duduk menuju penjual bakso.
"Bang Gara tipe orang yang tsundere, kah?" tanya Shaga, mencoba menggali ingatan masa lalunya.
"Mana gue tahu," jawab Savalas melepaskan kacamatanya.
"Loh? Bukannya waktu kita masih kecil, kita tinggal serumah? Aku kan amnesia, jadi gak inget apa-apa tentang masa kecil aku bareng kalian. Gak ada salahnya kan kalau aku nanya ini ke kamu?"
Savalas menghela napas panjang dan membuangnya perlahan. Pemuda itu melihat ke arah yang berlawanan, meski tanpa kacamata, semua benda terlihat buram.
"Itu udah lama banget, gue juga lupa. Lagian itu waktu kita masih kecil, jadi wajar kalau lupa. Tanya aja langsung ke orangnya, dia punya ingatan yang kuat kalo ga salah."
Shaga tertegun mendengar ucapan Savalas. Entah mengapa, Shaga yakin bahwa Savalas masih memiliki ingatan masa kecil. Apakah Savalas mencoba untuk berbohong?
"Val, kita kembar, loh. Kamu bohong gini aja aku tahu, kerasa. Kita bertiga udah barengan dari dalem perut mamah sampe sekarang, jadi jangan mendem sendirian," ucap Shaga memancing Savalas untuk jujur.
Mendengar hal itu, Savalas tertegun beberapa saat. Tak lama, ia kembali mengenakan kacamata miliknya seraya membuang napas berat.
"Lo bahagia sama kehidupan kita yang sekarang?" tanya Savalas secara mendadak.
Shaga mengernyit heran, lantas tertawa pelan. "Bahagia, ya? Fifty fifty mungkin, atau emang aku belum menemukan aja kebahagiaan di rumah kita yang baru. Tapi kalau kamu nanya tentang bersyukur, aku bersyukur bisa tinggal bareng mamah, ayah, sama kalian berdua."
Melihat tatapan Shaga yang penuh kejujuran, Savalas memalingkan mukanya.
"Lo benci sama mama?" tanya Savalas merendahkan nada bicaranya, takut-takut Shaga akan merasa tersinggung dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
"Enggak, Savalas. Aku gak pernah benci keluarga sendiri. Why should I do?" Shaga melontarkan kembali pertanyaan tersebut, membuat Savalas hanya bisa menggaruk tengkuknya.
"Ya kan lo bilang waktu itu kalau mama penyebab lo amnesia. Siapa tahu aja gitu, kan," elak Savalas.
Shaga membuang napas berat. "Emang dulu aku sempet bilang kayak gitu, tapi mama juga pasti ada alasannya, kan? Nenek bilang ada alasan dibalik sebuah tindakan, dan kita gak bisa nilai orang itu baik atau buruk cuman dari sudut padang kita doang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Satu kesalahan kecil memiliki dampak yang besar." Keluarga cemara. Ya, itu kata orang sekitar saat melihat keluarga mereka. Namun, tidak bagi Savalas. Ia tidak menemukan arti cemara di keluarganya, meskipun kondisinya saat ini adalah apa yang ia h...