Keesokan paginya, setelah Tamara selesai membuatkan anak-anaknya bekal, wanita itu tersenyum hangat di ambang pintu. Ia melambaikan tangan dan sedikit berteriak.
"Hati-hati di jalan, makanan dari Mama dimakan loh, ya!!"
Mereka bertiga mengacungkan jempol serentak. Setelah mereka sudah benar-benar hilang dari pandangan Tamara, wanita itu kembali memasuki rumah dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Ia menggulung rambut panjangnya, menyisakan sedikit anak rambut. Setelah selesai dengan urusan rambut, Tamara berjalan ke kamarnya dan mengambil ponsel yang ia letakkan di atas kasur.
Masih dengan ekspresi yang sama, Tamara kembali mendengarkan perekam suara yang Sagara kirimkan kepadanya.
"Sama-sama tidak punya etika pada orang yang lebih tua."
"Benar-benar tidak punya sopan santun. Kira-kira kenapa ayahmu mau sama wanita yang tidak punya etika, ya? Andai saja dia menikahi wanita lain yang lebih baik, mungkin sikapmu tidak akan seperti ini."
Setelah mendengarkan hingga habis, Tamara melihat tangannya yang dingin dan juga gemetar. Hanya saja ekspresinya masih tetap sama, meski tatapan mata wanita itu dipenuhi oleh amarah.
"Wanita itu ... wanita yang sama waktu aku melihat Devian mabuk bersama dia," gumam Tamara mengingat suatu kejadian di masa lalu.
Kejadian di mana rumah tangga mereka berakhir.
Kedua tangannya kini mengepal kuat. Tamara masih bisa ingat dengan jelas bagaimana tangan Anna dengan gatal menyentuh suaminya.
"Pelacur jahanam. Berani-beraninya dia."
Ia mengotak-atik ponselnya, mencari kontak Devian. Wanita itu harus membicarakan ini dengan Devian secepatnya. Tamara tidak mau jika pelacur itu berani mencelakai anak-anaknya setelah Anna menghancurkan rumah tangganya bersama Devian.
Tanpa pikir panjang, Tamara menekan tombol panggilan. Wanita itu tidak yakin jika Devian akan mengangkat panggilannya, mengingat kemarin Devian lembur hingga pulang lebih dari jam satu dini hari.
"Iya, halo Mara."
"Oh, emm anu ... Kamu gimana kabarnya?" sapa Tamara mencoba untuk bernapas dengan normal. Wanita itu berusaha tersenyum, meski bibirnya berkedut penuh amarah.
Devian mengerutkan keningnya. Ada apa? Tidak biasanya Tamara gugup seperti ini. Pria itu menjauhkan ponsel dan melihat kontak Tamara sesaat, sebelum akhirnya ia mendekatkan kembali ponsel tersebut ke telinganya. "Ada apa, Mara? Kok kamu kayak gugup gitu?"
"Enggak, gapapa, kok. Itu loh, tadinya mau mau ajak kamu makan siang. Kali-kali gitu, kan. Aku jenuh sama pekerjaan rumah yang ujung-ujungnya di dapur sama ngurus cucian. Aku butuh refreshing, nih. Melakukan pekerjaan yang sama setiap hari wajar, kan, kalau jenuh?" tanya Tamara.
Wanita itu memang benar-benar jenuh, oleh sebab itu ia ingin bertemu dengan Devian untuk makan siang sekaligus membicarakan tentang perbuatan Anna pada Savalas.
Mendengar hal itu, Devian tertawa pelan. Ya, jika dipikir-pikir ucapan Tamara benar juga, sih. Sekarang saja Devian sudah muak melihat layar laptop. Mungkin menyetujui usulan Tamara tidak terlalu buruk.
"Iya, boleh, deh. Tapi malem gapapa, ya? Soalnya siang ini aku ada rapat, nih. Nanti kamu pake baju yang modis, ya. Awas pake celana kayak laki-laki," ucap Devian memberikan nasihat.
Tamara membuang napas gusar. "Ya elah, buat kali ini doang, ya. Kamu tahu kan aku kayak gimana orangnya."
"Ya maka dari itu, Mara. Kamu tuh perempuan. Kurangin sifat laki-laki yang mendominasi itu. Udah, ya. Aku tunggu. Dandan yang cantik, ya. Aku mau lanjut kerja. Bye," pamit Devian mematikan panggilan.
![](https://img.wattpad.com/cover/371062292-288-k862871.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Satu kesalahan kecil memiliki dampak yang besar." Keluarga cemara. Ya, itu kata orang sekitar saat melihat keluarga mereka. Namun, tidak bagi Savalas. Ia tidak menemukan arti cemara di keluarganya, meskipun kondisinya saat ini adalah apa yang ia h...