Bab 18 : Sebuah Kebenaran

21 6 7
                                    

Sudah pukul satu malam, Devian memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumah. Untuk saat-saat seperti ini, beristirahat di rumah sepertinya tidak buruk juga. Untung saja Devian punya kunci rumah cadangan, yang membuat pria itu bisa masuk rumah kapan saja. 

Setelah membuka kunci dan masuk rumah, Devian membuang napas lelah. Pria itu berjalan ke arah kamar seraya melepaskan jas yang selama seharian ia pakai untuk bekerja. 

"Mara, maaf aku_" 

Begitu Devian melihat sesuatu berambut panjang dengan muka pucat, Devian membeku sesaat. Sama halnya dengan Devian, wanita itu juga tampak terkejut.

"Devian? Ih, kaget. Kukira maling yang dateng ke rumah," gerutu Tamara mengelus dada.

"Hhh, aku juga baru pulang langsung kaget liat penampakan kamu yang mirip cewek di alam sebelah. Lagian kenapa, sih, pake masker putih di jam segini? Mana gak diiket lagi rambutnya. Aku kira kamu udah tidur, loh." 

"Lagi eksperimen," jawab Tamara mengambil jas milik Devian dan menata jas tersebut di gantungan baju agar tetap terlihat rapi. "Lagian aku insomnia, makanya mending pake masker wajah." 

Devian menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Tamara. Pria itu lantas mengambil handuk dan bersiap-siap untuk mandi.

"Aku mau mandi dulu aja. Minimal kalau maskeran tuh diiket juga rambutnya, hei. Rambut kamu panjang, loh, hampir sepinggang. Mana lurus lagi. Untung gak ku bacakan ayat kursi," omel Devian.

Tamara yang sedang menggulung rambut panjangnya menoleh tajam, lantas kembali fokus melihat cermin. "Tega banget nyamain aku sama kuntilanak."

"Aduh, disebut lagi nama aslinya. Ya wajar, loh, aku ngira kamu penampakan hantu. Rambut kamu aja gak diiket, mana pake baju panjang warna putih lagi. Dari sekian banyaknya baju tidur, kenapa milih yang warnanya putih polos?" tanya Devian.

"Ish, iya-iya nanti aku ganti baju. Udah sana ah, mandi. Bau apek tahu gak."

Devian menghela napas berat, lantas berjalan menuju kamar mandi meninggalkan Tamara yang mulai membuka lemari untuk memilih baju yang lebih pas untuk dipakai tidur.

Beberapa saat kemudian, Devian keluar kamar mandi dengan pakaian tidur yang memiliki ukuran oversize. Pria itu lantas mencari Tamara yang sudah tidak ada di dalam kamar.

"Mara, kamu di mana?"

"Hm?" sahut Tamara dari arah dapur. Wanita itu sepertinya sedang menyiapkan kopi untuk Devian.

"Oh, ternyata di dapur. Ih, ngilang. Kamu bikin apa?" tanya Devian hendak menghampiri Tamara untuk membantunya.

Tamara menoleh dengan tangan yang masih memegang gelas. "Gak usah, ini aku tinggal aduk biar rasanya pas."

"Allahuakbar, Ya Allah Mara. Penampilan kamu, ih. Cuci muka sana, kaget aku."

Tamara hanya memberikan tatapan datar pada suaminya. "Ya gak bisa gitu, dong. Harus nunggu 10 menit. Kamu juga baru mandi 8 menit yang lalu, elah. Sisa 2 menit lagi, nanti aku cuci muka."

"Udah, sana kamu ke meja makan," usir Tamara kembali mengaduk.

Devian mengelus dada untuk mengusir rasa takut. Lagi pula mengapa harus masker putih? Setahu Devian, masker juga ada yang berwarna hitam.

"Eh, makin ngeri kalo item," gumam Devian menunggu Tamara di meja makan.

Tak lama kemudian, Tamara datang membawa kopi. Wanita itu menaruh kopi tersebut ke atas meja, lantas duduk berhadapan dengan Devian.

"Nih, kopinya. Aku cuci muka dulu," ucap Tamara.

Sesaat setelah Tamara pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, di waktu yang bersamaan Thunder memberikan pesan.

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang