Sesampainya di mobil, Devian masih terus mencari cara agar Tamara mau bicara padanya. Pria itu juga sudah menjelaskan sudut pandangnya agar Tamara tidak salah paham lagi. Namun, sampai saat ini wanita di sampingnya itu masih terus diam.
"Ayolah, Mara. Aku udah jelasin, loh. Jangan marah," bujuk Devian. Sesekali pria itu melirik Tamara saat lampu merah di jalanan menyala.
Sementara itu, terdengar helaan napas dari Tamara. Wanita itu akhirnya menyerah dan mulai mengeluarkan suara.
"Aku gak marah, kok. Cuman lagi mikir aja. Kamu fokus ke perjalanan aja. Aku beneran gak marah," ucap Tamara.
Devian membuang napas berat. "Tapi kamu percaya, kan, sama penjelasan aku?"
Mendengar hal itu, Tamara terdiam beberapa saat. Wanita itu tiba-tiba teringat kembali perkataan yang ibunya ucapkan.
"Mara anak Ibu, dengarkan ini agar kejadian di masa lalu gak terulang lagi. Kunci rumah tangga yang baik itu salah satunya adalah saling percaya dan gak putus komunikasi, Sayang. Dua hal itu yang harus ada pada diri kalian masing-masing. Rasa cinta bisa menipis seiring berjalannya waktu, tapi rasa saling percaya dan adanya komunikasi itu akan tetap dibutuhkan sampai kapan pun," ucapnya mengelus tangan Tamara dengan sentuhan yang paling lembut.
"Iya, aku percaya," jawab Tamara memberikan senyum tipis.
"Dengar, Nak. Jangan biarkan amarah yang mengontrol setiap tindakanmu, Sayang. Kamu yang berhak mengontrol emosi, bukan emosi yang mengontrolmu. Keputusan yang dibuat saat marah hanya akan berakhir dengan penyesalan."
Mengingat hal itu, rasa sesal Tamara semakin kuat.
Ibu bener. Keputusan yang diambil saat marah cuman berakhir dengan penyesalan doang. Batin Tamara.
Suasana hening sesaat. Devian kembali fokus ke jalanan, sementara Tamara mulai asik dengan pikirannya.
"Hei, aku mau tanya. Sebenarnya ini sangat sensitif buatmu, tapi aku penasaran sampai sekarang," ucap Devian secara tiba-tiba.
Mendengar hal itu, Tamara menoleh sesaat. "Nanya apa?"
"Waktu itu, katamu aku mabuk bareng Anna. Aku gak inget apa-apa, dan kamu tiba-tiba nyuruh aku buat tanda tangani surat cerai. Emang apa yang kamu liat waktu itu?" tanya Devian tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan.
Napas Tamara tersendat beberapa saat setelah mendengar pertanyaan tak terduga itu. Ia tidak menyangka bahwa Devian akan bertanya tentang kejadian yang membuat hidupnya berantakan detik itu juga.
"Emm aduh, gimana, ya. Aku coba inget-inget dulu, deh," gumam Tamara mengerutkan keningnya untuk kembali mengulik kenangan yang menyakitkan tersebut.
"Kalau gak salah, waktu itu aku baru pulang dari rumah ibu."
🏮
Tamara baru saja pulang dari rumah ibunya dan sedang berjalan menuju rumah. Wanita itu sudah benar-benar dalam kondisi yang lelah, ingin segera membersihkan diri dan tidur detik itu juga.
Jarak dari rumah orang tua Tamara ke rumahnya bersama Devian, membutuhkan waktu setidaknya satu jam perjalanan. Penerangan di malam hari pun cukup minim di tempat tinggal mereka, membuat Tamara harus membawa pisau untuk menjaga diri.
"Hhh, ini kenapa lampu banyak redupnya? Niat bikin gak, sih," umpat Tamara menyembunyikan pisaunya di balik jaket.
Saat ia melewati toko bunga di ujung jalan, matanya menangkap bayangan familiar di balik kaca bar yang bersebelahan dengan toko tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SUDAH TERBIT]
Подростковая литература"Satu kesalahan kecil memiliki dampak yang besar." Keluarga cemara. Ya, itu kata orang sekitar saat melihat keluarga mereka. Namun, tidak bagi Savalas. Ia tidak menemukan arti cemara di keluarganya, meskipun kondisinya saat ini adalah apa yang ia h...