Di suatu tempat yang asing, Sagara mulai membuka matanya perlahan. Ingatan sebelum kesadarannya direnggut paksa oleh kegelapan lambat-laun mulai kembali, membuat pupil mata Sagara mengecil.
"Anjing, lepasin kita, sialan!!!" Sagara memberontak, berusaha untuk melepaskan diri meskipun ia tahu itu akan sia-sia.
Anna tersenyum penuh kemenangan. Wanita itu menepuk-nepuk rok miliknya, lantas berjalan angkuh menghampiri Sagara yang sekarang tidak bisa berbuat apa-apa.
"Nyenyak tidurnya? Kenapa adik kamu Savalas gak bangun-bangun?" tanya Anna tersenyum miring. Wanita itu berjongkok dan mengacak rambut Sagara yang membuat si empunya menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Najis. Jangan berani-berani lo sentuh tangan kotor itu ke kepala gue, yang boleh nyentuh kepala gue cuman keluarga doang!" gertak Sagara memberikan tatapan amarah. Sial, ikatan tali ini sangat kuat, membuat Sagara tidak bisa memberikan perlawanan.
Mendengar hal itu, Anna sontak tertawa kencang. Oh, lihatlah wajahnya yang penuh amarah itu. Terlihat begitu lucu dan membuat Anna ingin terus melihatnya.
"Wajah marah kamu bikin Ibu pengen ketawa geli, Sagara."
"Siapa yang nyebut dan nganggap lo Ibu, hah? Kepedean banget, anjir!" Sagara melontarkan kata-kata sarkas, sampai kapanpun Sagara akan selalu membenci wanita yang ada di hadapannya ini.
Anna menyeringai, mencoba untuk mengabaikan kata-kata sarkas yang dilontarkan Sagara untuknya. Ia berjalan menuju tempat Savalas yang masih tidak sadarkan diri, mengamati setiap detail wajah dari anak didiknya.
"Ngapain lo?! Gak boleh ada yang nyentuh adek gue sedikitpun!!!"
Sagara menggertak marah. Tatapannya tertuju pada Savalas yang masih enggan membuka mata, berharap Savalas baik-baik saja.
"Tapi sayangnya kali ini tanganmu tidak bisa bergerak," cemooh Anna menertawakan Sagara. Wanita itu kini berjongkok dan menggamit pipi Savalas yang masih belum sadarkan diri.
"Kasihan sekali wajahmu itu, penuh dengan tekanan."
"Gue bilang jangan sentuh adek gue! Gak tahu bahasa apa gimana sih, lo?!" gertak Sagara. "Jangan bikin kesabaran gue habis, ya, anjing! Manusia murahan kayak lo emang paling pantes mendekam di penjara! Sekali lo pancing emosi gue, gue pastikan lo bakal nyesel seumur hidup!"
Mendengar hal tersebut, justru membuat Anna tertawa lepas. Bagaimana bisa anak sekecil Sagara berkata besar seperti itu? Itu jelas tidak mungkin terjadi.
"Memang kalau kamu marah akan separah ibumu, gitu?" Anna tersenyum miring, melepaskan tangannya dari Savalas. "Aku beri tahu, tidak ada yang bisa menandingi amarah ibumu, Sagara. Bahkan_"
"Gak usah sok tahu, sialan. Tahu apa lo soal ibu gue, hah?! Omongannya tentang nyokap gue mulu. Iri lo sama nyokap gue?! Gedeg gue denger omong kosong lo! Dia orang yang baik, penyabar. Gak kayak lo, tuh! Cupu!"
Sagara kembali menggertak. Namun, Anna tampak tidak peduli. Wanita itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi melihat pergerakan mata Savalas yang mulai terbuka, wanita itu mengurungkan niatnya.
"Argh, sial... Kepala gue," gumam Savalas dengan pandangan yang masih buram.
"Savalas! Lo gapapa?" Pertanyaan itu sontak terlontar begitu saja dari mulut Sagara, meskipun pemuda itu tahu bahwa adiknya sedang tidak baik-baik saja.
"Gue ... Baik," jawab Savalas masih belum menyadari kehadiran Anna.
"Halo murid kesayangan Ibu."
Deg!
Begitu pandangannya pulih, Savalas terkejut dan secara refleks menggerakkan tangannya untuk membukakan ikatan tali yang terlalu kuat.
"Kenapa takut, hm? Berusaha untuk membebaskan diri?" tanya Anna tertawa merendahkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Satu kesalahan kecil memiliki dampak yang besar." Keluarga cemara. Ya, itu kata orang sekitar saat melihat keluarga mereka. Namun, tidak bagi Savalas. Ia tidak menemukan arti cemara di keluarganya, meskipun kondisinya saat ini adalah apa yang ia h...