Bab 17 : Mencari kebenaran

13 7 5
                                    

Keesokan hari tepat saat jam istirahat, mereka bertiga duduk di satu meja yang sama, tidak memesan makanan atau minuman. Hanya sebatas duduk santai di kursi kantin.

"Ah, ngantuk banget. Pengen cepet-cepet pulang, deh, rasanya. Atau bolos aja gitulah sesekali mah," gumam Shaga seraya menguap. Pemuda itu melipat kedua tangannya di atas meja, lantas membenamkan kepalanya.

"Tumben lo ngantuk. Jam berapa lo tidur?" Sagara bertanya dengan tatapan mata yang masih tertuju pada ponselnya.

"Jam 11 malem kalo gak salah. Gak tahu kenapa mendadak gak bisa tidur kemarin malem, padahal Savalas aja udah tidur dari sebelum mama berangkat," jawab Shaga masih dengan posisi yang sama.

Sagara membuang napas berat. "Gak baca doa kali, makanya lo susah tidur."

"Ih, enak aja si Abang. Aku udah baca doa tidur, udah bikin susu hangat juga."

Merasa sulit untuk terpejam, Shaga kembali menegakkan badannya. Pemuda itu melakukan peregangan dan mulai bertanya pada Sagara.

"Bang, kakek tuh orangnya kayak gimana, sih?" tanya Shaga.

Mendengar pertanyaan itu, sontak membuat Sagara menoleh dan menaruh ponselnya di saku celana. Pemuda itu menautkan alis, merasa heran dengan pertanyaan mendadak dari adiknya. "Tumben nanya kakek?"

"Ya penasaran aja, sih, Bang. Soalnya kita berdua belum ketemu sama kakek. Iya, kan, Savalas?" Shaga menoleh ke arah Savalas, membuat pemuda yang sedang melamun itu terhenyak.

"Iya kali," sahut Savalas seadanya.

Sagara menghela napas berat. "Lo kan udah pernah ketemu sama kakek, Shaga. Lo juga, Savalas. Kalian lupa?"

"Bang, Abang lupa kalau aku amnesia?" tanya Shaga menatap Sagara datar.

Ah, benar juga. Shaga memiliki alasan yang logis, tapi mengapa Savalas ikut melupakannya juga?

"Hhh, kakek orangnya baik, penyayang. Apalagi ke gue, ke kalian juga. Pokoknya kakek tuh penyayang ke semua orang, terutama cucunya. Kakek juga tenang, gak pernah gue liat kakek ngasih liat kemarahannya. Kalau bareng kakek, rasanya tenang aja gitu pembawaannya, bikin orang jadi nyaman ada di deket kakek," jawab Sagara mulai bercerita. Semoga saja kali ini Shaga tidak ketiduran seperti sebelumnya.

"Terus, terus? Waktu kita masih kecil, kakek pernah gendong kita, nggak, Bang?" tanya Shaga dengan antusias, sementara Savalas hanya diam menyimak.

Sagara menganggukkan kepalanya, sedikit tersenyum. "Iya, selalu gendong, kok. Apalagi tiap kakek berkunjung ke sini, pasti yang dicari duluan sebelum mama sama ayah tuh kita."

"Wah iya? Ih, enaknya kalo Shaga bisa inget masa-masa itu. Itu waktu umur kita berapa, Bang? Ada fotonya, gak? Mau liat."

"Hn, ada kalau gak salah."

Sagara membuka casing ponselnya, lantas mengambil sebuah foto yang sudah mulai usang. Pemuda itu menunjukkan foto tersebut ke Shaga dan juga Savalas.

"Nih, foto kita waktu usia 7 tahun bareng kakek."

Shaga melihat dengan antusias. Terbesit perasaan sedih di hatinya karena ia tidak bisa mengingat meskipun sudah diberikan gambaran melalui foto, sementara Savalas hanya melirik sekilas dan memilih untuk tetap diam.

Tepat saat Sagara bercerita mengenai kakeknya, terdapat pesan masuk dari Devian ke kontak Savalas. Hal itu membuat pemuda tersebut mengalihkan perhatian dari Sagara, lantas segera membaca pesan dari ayahnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang