Bab 19 : Kerinduan

10 7 4
                                    

Pada akhir pekan, Sagara menatap langit-langit kamar dengan perasaan malas. Pemuda itu berjalan menuruni anak tangga, mencari keberadaan Tamara.

"Ma," panggil Sagara.

Tamara yang sedang menonton film menoleh dan tersenyum. "Iya, kenapa? Sini duduk."

Sagara mengangguk dan duduk di samping Tamara. Pemuda itu sempat mengambil camilan sebelum akhirnya kembali bicara.

"Ma, Gara mau minta izin buat ke Yogyakarta. Kira-kira Mama izinin Gara, gak? Gara mau ketemu sama kakek, Gara kangen sama rumah masa kecil Gara, Ma. Sekalian nginep di sana semalam," ucap Sagara memohon agar Tamara mau mengizinkannya.

Tamara mengangguk menyetujui.

"Iya, boleh aja, kok. Mama titip salam, ya, ke kakek. Maaf juga karena Mama belum bisa jenguk kakek ke kampung halamannya. Tapi Mama khawatir," sahut Tamara. Ia sedikit keberatan.

Sagara menggelengkan kepala dengan kuat, berusaha untuk membujuk Tamara. "Mama gak usah khawatir. Gara bisa, kok, jaga diri sendiri. Gara janji, Gara bakal pulang dalam keadaan selamat, gak ada yang lecet. Nanti besoknya Gara bawa oleh-oleh, deh, buat kalian."

"Mama mau tahu, alasan kamu mau ke Yogyakarta selain karena kangen kakek, karena alasan apa lagi? Kamu lagi ada masalah, ya, sampai mau kembali ke kampung halaman kamu di masa kecil." Tamara mencoba menebak-nebak, karena wanita itu juga pernah mengalami masa muda seperti Sagara.

Mendengar hal itu, Sagara terdiam beberapa saat. Pemuda itu mengalihkan pandangan dan menghela napas gusar.

"Hhh, soal savalas, Ma. Mumpung orangnya lagi lari pagi sama shaga, Gara bakal ngomong ini ke Mama. Sebenernya Gara ngerasa capek, kayak gunanya Gara di keluarga ini buat apa? Gara udah lama tinggal bareng kakek, sampai Gara lupa gimana tanggung jawab seorang kakak tertua."

"Sekarang giliran kita udah serumah, apa yang savalas perbuat seolah dia gak butuh Gara di rumah. Dia mohon-mohon ke Gara buat ikut ke rumah ini, terus pas Gara nurutin, perbuatan yang dia lakuin seolah Gara cuman pelengkap."

"Tahu gitu Gara gak ninggalin kakek di Yogyakarta, Ma. Semuanya beda, apalagi savalas. Kerasa banget bedanya daripada yang dulu. Tuh anak sekarang aja udah lupa sama masa kecil, Ma. Shaga masih bisa Gara maklumi, dia hilang ingatan. Tapi savalas? Dia seolah pura pura lupa. Maunya apa gitu, loh? Gara gak ngerti. Seakan semua yang Gara lakuin ke Savalas tuh gak ada apa-apanya."

"Kalau dia terus diem kayak gini, Gara juga capek, Ma. Gara udah ngelakuin segala cara biar savalas gak diganggu, itu juga bentuk kasih sayang Gara ke dia. Tapi kalau gini terus, ya Gara juga rasanya sia-sia. Dia bilang dia butuh gue, dia butuh shaga juga."

"Kalau ada apa-apa dia pengen ada komunikasi, nyatanya apa? Dia sendiri, kan, yang silent treatment? Mendem semuanya sendiri, ngilang, ngurung diri di kamar. Gara kayak abu-abu di kehidupan savalas."

Setelah berani mengutarakan isi hati, satu tepukan mendarat di kepala Sagara. Tamara, wanita itu mengelus kepala Sagara dengan lembut. Ia tersenyum sendu seraya menganggukkan kepala.

"Iya, Mama ngerti. Kamu boleh, kok, sekalian nginep di sana buat nenangin pikiran. Tapi jangan lupa buat pulang ke rumah. Soal savalas, kita liat seiring berjalannya waktu, ya?"

"Kalian udah lama pisah, pasti kalian juga butuh waktu buat adaptasi sama perubahan. Lama kelamaan pasti bakal terlihat perbedaan dari sikap savalas yang sekarang dan yang nanti."

Sagara tertegun sejenak setelah mendapatkan sebuah tepukan kecil di kepalanya. Pemuda itu memejamkan mata, menikmati setiap belaian kasih sayang dari ibunya.

"Kenapa Mama yakin banget?"

"Naluri," jawab Tamara. Wanita itu kini mengacak rambut putranya.

"Hati-hati di sana, ya. Sekalian Mama tunggu oleh-olehnya, hehe," ucap Tamara berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang