Bab 22 : Penculikan

13 6 9
                                    

Dua hari setelah Sagara pulang ke rumah, pemuda itu kini tidak bisa pergi ke mana pun yang ia mau. Bahkan untuk bergerak sedikit saja sepertinya tidak bisa.

"Ayolah, Shaga. Gue cuman mau ambil minum, loh. Kenapa, sih? Manja banget," gerutu Sagara.

Ya, semenjak Sagara meminta izin pada Tamara untuk pergi ke Yogyakarta menemui kakeknya, rupanya Shaga menanyakan ke mana ia pergi saat mereka pulang ke rumah.

Belum lagi dengan kesalahannya yang tidak memberitahu Tamara bahwa ia sudah sampai di rumah kakeknya dengan selamat karena mematikan ponsel, membuat Shaga semakin kesal dan terus ingin menempel dengan dirinya.

"Salah sendiri Bang Gara gak ajak Shaga sama Savalas ke tempat tinggal kakek. Shaga juga pengen ngerasain kasih sayang kakek."

"Abang enak dulu tinggal agak lama, jadinya full ngerasain kasih sayang. Aku sama Savalas gak seberuntung Abang dalam hal kasih sayang tahu," ungkap Shaga, masih mencari posisi nyaman untuk tidur di atas paha Sagara.

Terdengar kesedihan dari nada bicaranya, membuat Sagara menunduk menatap Shaga yang mulai memejamkan mata.

"Lo tahu dari mana kalau lo sama Savalas kurang beruntung dalam hal kasih sayang? Lo sendiri aja hilang ingatan, sok-sokan bilang gak beruntung lagi," sarkas Sagara. Meski begitu, pemuda itu tetap mengusap kepala Shaga agar tidur dengan nyaman.

Shaga terdiam, tidak membantah ucapan pedas dari kakaknya. Sebaliknya, pemuda itu membuka mata dan mengubah posisinya menjadi duduk seperti semula. "Shaga mimpi buruk, Bang...."

Satu alis Sagara terangkat. "Mimpi buruk apa emang?"

Shaga kembali diam, membuat Sagara merasa penasaran. Ia pun melirik Savalas meminta jawaban.

"Hhh, kayaknya ingatan yang kembali tuh ingatan yang buruk," ucap Savalas seraya melirik Shaga yang mendadak menjadi pendiam.

"Ingatan buruk? Apa?"

"Waktu itu kalau gak salah Shaga bilang kalau di mimpinya dia liat lo sama gue pergi ninggalin dia, dan katanya kita berdua pergi ke arah yang berlawanan."

"Lo pergi ke arah kiri yang ada secercah cahaya, walau dikit. Terus kalau gue pergi ke arah kanan, tapi waktu dia ngeliat gue pergi ke arah kanan yang gelap, dia bilang kalau badan gue penuh luka dan diseret monster besar berbulu ke suatu tempat yang mengerikan."

"Intinya kata Shaga tuh gue hilang di antara kegelapan. Terus yang terakhir dia denger dari gue di mimpinya itu kata tolong berkali-kali dan gue nyebut nama kalian berdua, kalau lo cuman kayak natap Shaga lama dari jauh terus balik arah ke arah cahaya itu seolah ngucapin perpisahan," jawab Savalas menjelaskan.

Sepertinya itu pertama kalinya Savalas berbicara panjang lebar. Terakhir kali menjelaskan sesuatu sepanjang ini kapan, ya?

"Lo mimpiin itu udah berapa lama, Shaga?" Kali ini perhatian Sagara tertuju pada Shaga yang terlihat cemas.

"Eh, kayaknya sering. Aku inget waktu SMP pernah mimpiin hal yang sama, tapi karena waktu itu aku gak ngerasa punya abang atau adek, ya wajah kalian samar-samar."

"Mimpi itu dateng lagi waktu aku pertama kalinya ketemu kalian di sekolah pas jadi murid baru, di situ wajah kalian mulai keliatan. Terus samar-samar suara teriakan Savalas mulai agak kedenger, dulu aku tahu Savalas teriak, tapi aku gak denger apa-apa."

"Sekarang waktu aku udah tahu kalau kalian saudara kandung aku, kemarin secara otomatis suara Savalas yang teriak ketakutan bener-bener kedengeran di telinga Shaga. Anehnya cuman Savalas yang teriak sambil natap Shaga dengan tatapan takut sama memohon, kalau Abang kayak cuman ngeliat dari jauh terus ninggalin Shaga," ungkap Shaga membuang napas berat.

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang