Di dalam mobil patroli polisi, Sagara duduk dengan tenang, meski matanya terus-menerus melirik ke arah Savalas yang terbaring di sampingnya dengan wajah babak belur dan tak sadarkan diri. Sirene mobil polisi meraung-raung memecah keheningan malam saat mereka melaju cepat menuju rumah sakit.
Polisi yang duduk di kursi depan, Pak Ridwan, mencoba menenangkan Sagara sambil sesekali melihat ke kaca spion. "Nak, bisa cerita apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang melakukan ini?"
Sagara menarik napas panjang, menahan perasaan takut dan cemas yang bergelayut di hatinya.
"Kami diserang, Pak. Kami tidak tahu siapa mereka. Kami hanya jalan-jalan biasa saja, lalu tiba-tiba mereka datang dan memukuli Savalas tanpa alasan. Sepertinya orang-orang itu adalah suruhan wanita yang tadi, saya pun tidak paham apa alasan dia menculik kami. Dia tidak mau memberitahukan alasannya."
Sementara itu, di mobil patroli lainnya, Bu Sinta, polisi yang bertugas, menghubungi orang tua mereka. "Halo, Pak Devian? Saya dari kepolisian, anak-anak Bapak, Sagara dan Savalas, ada di rumah sakit sekarang. Savalas dalam kondisi yang cukup parah, mohon segera datang."
Devian yang menerima telepon tampak pucat. Setelah menutup telepon, ia bergegas mencari Tamara. "Mara, kita harus ke rumah sakit sekarang. Anak-anak kita ada di sana."
Tamara yang sedang di dapur segera berlari ke arah suaminya dengan langkah kaki yang gemetar. "Apa yang terjadi? Sagara dan Savalas gimana?"
"Kita harus segera ke rumah sakit. Savalas tidak sadarkan diri."
Mendengar kabar itu, Tamara hampir tak mampu berdiri. Kakinya gemetar dan tubuhnya lemas. "Ya Allah ... Savalas...." Air mata mulai mengalir di pipinya.
Shaga yang berada di lantai atas, mendengar suara panik ibunya. Ia segera turun dengan wajah cemas. "Mah, ada apa? Kenapa Mamah nangis?"
Tamara berusaha menenangkan diri, meski suaranya bergetar. "Saudara kamu udah ditemukan, Nak. Tapi Savalas gak sadarkan diri. Kita harus segera ke rumah sakit."
Shaga menelan ludah, wajahnya pucat beserta keringat dingin yang mengucur. "Kalau gitu hayu, Mah. Kita harus cepat." Shaga membantu ibunya yang hampir tak bisa berjalan menuju mobil.
Sesampainya di rumah sakit, Tamara dan Shaga berlari-lari panik masuk ke ruang gawat darurat. Mereka menemukan Sagara duduk di kursi tunggu dengan wajah yang memendam banyak kecemasan.
Tanpa banyak bicara, Shaga langsung berlari ke arah Sagara dan memeluknya erat, mulai menangis dan mengutarakan kegelisahannya selama ini. "Abang, maafin aku. Gak seharusnya aku lemah, Bang. Aku takut banget kehilangan kalian, jangan pergi lagi, Bang. Shaga trauma tahu nggak."
Sagara terdiam lama, lantas membalas pelukan Shaga dengan mata berkaca-kaca. "Ini bukan salah lo, Shaga. Semua yang terjadi udah takdir, lo gak lemah. Seenggaknya sekarang kita bisa kumpul-kumpul lagi. Maaf udah bikin kalian cemas."
Tamara menghampiri kedua anaknya, menahan tangis yang hampir pecah. "Sagara, kamu gapapa? Kenapa gak ikut diperiksa kayak Savalas? Dia baik-baik aja, kan?"
Sagara menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Dokter lagi periksa, Ma. Kita cuman bisa nunggu. Gara gapapa, kok. Luka Gara kecil, jadi gak harus ditindaklanjuti kayak Savalas."
Dalam keheningan ruang tunggu, keluarga itu saling menguatkan satu sama lain, menunggu kabar baik dari ruang perawatan.
Di ruang tunggu rumah sakit, waktu terasa berjalan lambat bagi keluarga Devian. Mereka duduk dalam keheningan yang penuh kecemasan, saling menggenggam tangan, berharap dan berdoa untuk kesembuhan Savalas.
Tak lama kemudian, pintu ruang perawatan terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah tenang. Tamara segera berdiri, hatinya berdebar kencang. Sagara dan Shaga ikut bangkit, menunggu dengan cemas kabar dari sang dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Satu kesalahan kecil memiliki dampak yang besar." Keluarga cemara. Ya, itu kata orang sekitar saat melihat keluarga mereka. Namun, tidak bagi Savalas. Ia tidak menemukan arti cemara di keluarganya, meskipun kondisinya saat ini adalah apa yang ia h...