Bab 9 : Permohonan

23 8 15
                                    

"Oke, Bu Anna itu guru bahasa Indonesia sekaligus guru les gue. Setiap pulang sekolah, gue selalu dateng ke rumah dia buat les bahasa Indonesia. Mulai dari yang paling dasar, sampai ke materi yang udah kayak anak kuliahan."

"Dia gak akan ngebolehin gue pulang sebelum gue bener-bener ngerti, makanya waktu itu gue pulang telat. Walaupun gue udah bilang ke dia, dia gak peduli. Gue cerita ke ayah juga respon ayah malah ngedukung bu Anna."

Savalas terdiam sejenak, merasakan gejolak emosi yang mengalir bersama darahnya. Jika harus membahas Devian, entah mengapa secara tidak sengaja perasaan amarah itu selalu muncul.

"Ayah, ini udah jam setengah enam sore, loh. Ayah ngomong apa kek sama tuh guru. Kenapa, sih? Bang Gara bakal marah kalau gue—Savalas gak pulang lebih dari waktu magrib." Nada Savalas terdengar sangat frustrasi, bahkan anak itu sampai menggigit kukunya untuk menghilangkan kecemasan.

Devian menghela napas berat. Entah mengapa menghadapi Savalas sangat sulit dibandingkan menghadapi anak-anaknya yang lain.

"Biasanya juga kayak gitu, kan? Ayah percaya, kok, Sagara bisa ngertiin itu. Anna itu guru kamu, Savalas. Tolong, lebih menghormati dia. Ayah malu kalau ketemu Anna, karena terakhir ketemuan dan ngomongin perkembangan kamu juga, dia bilang kalau kamu cukup keras kepala dan sulit diberitahu."

"Ayah, mereka itu baru satu tahun tinggal bareng kita. Sementara Savalas udah bertahun-tahun tinggal bareng ayah. Mereka gak tahu apa-apa tentang jadwal yang ayah kasih ke Savalas kayak gimana, apalagi Sagara."

"Ini udah mau magrib, tolong kasih tahu Anna buat selesaikan hari ini juga. Nanti Savalas kena amuk sama Sagara di rumah kalau pulangnya lebih dari jam enam sore, Ayah. Percaya sama Savalas. Sekali ini aja. Savalas mohon,"  ucap Savalas mengusap kasar wajahnya.

Devian memejamkan mata dan memijat pelipisnya. Pria itu menutup laptop yang menyala. "Kamu tahu dari mana kalau Sagara bakal marah-marah karena pulang telat? Kamu jangan terlalu mikir negatif, dong. Sagara kakak kamu, loh. Kamu ini kayak gak pernah diajarin sopan santun ke orang yang lebih tua. Kasihan Sagara kalau kamu gak mengubah sikap."

"Tahu dari mana juga Ayah kalau Sagara gak bakal marah-marah, hah? Ayah aja lupa anak, lupa istri. Gak pernah tuh yang namanya pulang. Ayah selama tinggal lagi bareng mama, gak ada tuh pernah pulang. Ya sekalinya pulang, bisa dihitung jari. Selama Ayah kerja, Savalas yang tinggal dan tahu gimana ketatnya Bang Gara."

"Selama ini juga yang ayah ajarin ke Savalas cuman gimana caranya dapetin peringkat 10 besar. Gak ada, tuh, apresiasi. Ayah cuman kerja, kerja, kerja. Gak pernah Ayah nyemangatin Savalas. Gak pernah juga Ayah kasih pelukan atau tepukan hangat di kepala buat kasih dorongan karena nilai Savalas kecil."

"Apa yang Ayah lakuin, hah? Ayah mukul Savalas! Ayah ngatain Savalas bego! Ayah ungkit semua yang pernah Ayah kasih ke Savalas! Sekarang kok protes kalau Savalas gak punya sopan santun? Ayah ngajarin gak? Tanya ke diri ayah sendiri, jangan apa-apa nyalahin Savalas mulu!"

Kali ini, Savalas benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. Cairan bening menumpuk di pelupuk matanya, membuat pandangan Savalas agak kabur. Namun, dengan cepat Savalas menyeka air mata tersebut.

Sementara itu, Devian terdiam mendengar bentakan Savalas. Hening menyapa ruangan Devian selama beberapa saat, membuat Devian semakin terbawa suasana nostalgia pada masa lalu. Sesaat kemudian, terdengar suara Anna mendekat dan membujuk Savalas.

"Savalas, ini yang terakhir. Kalau kamu bisa ngerjain ini, kamu boleh pulang ke rumah, kok."

"Baji_"

"Savalas, dengerin apa kata guru kamu. Tolong serahin juga HP kamu ke Anna, ada yang mau Ayah bicarakan ke dia," ucap Devian.

Savalas membuang napas kesal dan memberikan ponselnya ke tangan Anna dengan kasar.

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang