Bab 20 : Kampung Halaman

15 7 17
                                    

Sudah hampir delapan jam perjalanan dari Jakarta menuju kampung halamannya, Sagara dengan perasaan yang berbunga-bunga berjalan menuju rumah kakeknya. Pemuda itu menghirup udara perkampungan yang terasa segar, lantas  tersenyum tipis.

Kali ini senyuman yang Sagara tunjukkan benar-benar senyum asli, tanpa harus ada tuntutan. Pemuda itu kini sudah sampai di depan pintu rumah kakenya. Ia mengepalkan tangan dan mulai mengetuk pintu. Kali ini ia sengaja tidak mengeluarkan suara karena ingin memberikan kakeknya kejutan.

"Tunggu sebentar," ucapnya dari dalam.

Ah, suara ini. Suara yang sangat Sagara rindukan, kali ini sudah benar-benar ada di depan mata. Tidak perlu lagi Sagara hanya membayangkan kenangan masa kecil yang indah di sini, karena sekarang ia yang mendatangi kampung halaman yang penuh kenangan itu sendirian. 

Hanya dengan mendengar suara lembutnya saja, beban di hati Sagara seakan hilang. Senyum merekah, menghangatkan jiwa pemuda itu yang selalunya dipenuhi akan kemarahan.

"Siapa?" 

Pria paruh baya itu mematung sesaat ketika melihat tamu yang datang. Bahkan ia sempat memicingkan matanya agar tidak salah melihat.

"Assalamualaikum, Kakek. Gara cucu kesayangan Kakek udah pulang, nih," sapa Sagara tersenyum hangat dengan mata yang berkaca-kaca. 

"Wa'alaikumussalam. Masuk, Gara," sahut Harun—kakek Sagara menyambut kedatangannya dengan sukacita.

Sagara mengangguk, masih terus tersenyum. Pemuda itu melihat sekeliling ruangan, masih terlihat sama seperti sejak pertama kali ia memasuki rumah kakeknya waktu kecil.

"Masih sama, ya," gumam Sagara. Senyum di bibirnya tidak pernah pudar.

"Gara apa kabar? Sehat?" tanya Harun menggenggam lembut kedua tangan Sagara.

"Iya, Gara sehat. Sehat banget, Kakek. Kakek sendiri apa kabar? Gara kangen," ungkap Sagara dengan sorot mata kerinduan.

"Kakek juga sehat." Harun menjawab dengan suara yang lembut. Pria paruh baya itu mengajak Sagara untuk duduk di kursi. "Gara pasti capek, kan, delapan jam di perjalanan? Mau Kakek siapin kue? Atau mau hot chocolate?"

Sagara menggeleng, tersenyum simpul. "Enggak, gak usah, Kek. Gara gak capek, kok. Baru aja nyampe ke sini, gatau ke mana rasa capeknya ilang, hehehe."

"Ada-ada aja," sahut Harun tertawa pelan.

"Oh iya, gimana kabar cucu Kakek yang lain? Kakek kangen sama shaga dan savalas."

Mendadak Sagara terdiam begitu kakeknya menanyakan kabar shaga dan savalas. Tak lama setelah itu, Sagara kembali memamerkan senyuman. "Mereka baik-baik aja, kok, Kakek. Tapi ya ... Shaga hilang ingatan, jadi belum inget masa kecilnya bareng Gara sama savalas."

"Eh, begitu, ya? Sayang banget, pasti dia sedih karena gak punya ingatan masa kecil. Kalau savalas? Dia masih manja kayak dulu, kan?" tanya Harun.

Sagara menggeleng. Pemuda itu menghela napas berat saat mengingat perubahan sikap adik bungsunya setelah sekian lama berpisah.

"Savalas udah berubah, Kek. Dia udah nggak kayak dulu lagi. Sekarang dia kayak orang asing. Gara udah sebisa mungkin ngelakuin segala cara biar savalas bisa membuka diri, tapi dia tertutup banget. Sampai kalau mau cerita juga harus Gara sama shaga yang maksa, gak kayak dulu dia bisa cerita dengan sendirinya."

"Sekarang dia aja ngambil jarak, bahkan ke mama. Dia gak mau keluar kamar, walau itu cuman disuruh mama buat makan malem, alasannya karena belajar. Belajar terus, belajar terus. Minus sama silindernya makin nambah, loh, Kek."

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang