Bab 29 : Kabar Tak Terduga

14 6 8
                                    

Sudah hampir satu Minggu Harun menginap, suasana di rumah mulai terlihat membaik. Savalas sudah terlihat mulai membuka diri dan bisa berekspresi. Sementara itu, di ruang keluarga, Harun duduk santai dengan Devian. Tamara berada di dapur, membuat kopi untuk Devian.

"Devian, aku mau cucu-cucuku ngumpul di sini," kata Harun. "Ajak mereka turun, ya?"

Devian tersenyum dan mengangguk. "Baik, Ayah. Aku akan panggil mereka."

Devian mulai melangkah ke tangga, hendak memanggil mereka untuk turun. Namun, tiba-tiba terdengar suara batuk Harun yang parah. Devian berbalik dan melihat ayahnya terengah-engah, berusaha keras untuk bernapas.

"Mara! Ayah butuh bantuan! Cepat ke sini!" Devian berteriak panik.

Tamara mendengar teriakan Devian dan berlari-lari dari dapur, jantungnya berdebar kencang. "Apa yang terjadi?! Ayah kenapa?"

Mendengar orang tuanya berseru panik, mereka bertiga turun dengan tergesa-gesa. Begitu sampai, Sagara langsung merasa takut melihat kondisi kakeknya yang kesulitan bernapas. Dia berdiri terpaku, wajahnya pucat.

"Kakek," bisik Sagara dengan suara gemetar.

Shaga merangkul Sagara. "Tenang, Bang. Kakek pasti baik-baik aja."

"Devian, kita harus bawa Ayah ke rumah sakit sekarang juga!" kata Tamara panik.

Devian mengangguk dan segera menghubungi ambulans. Tamara mencoba menenangkan Harun sambil menunggu bantuan datang.

"Ambulans dalam perjalanan," kata Devian. "Semua akan baik-baik saja."

Dengan segera, suara sirene ambulans terdengar, memberikan sedikit rasa lega di tengah kepanikan. Sagara, Shaga, dan Savalas saling berpegangan tangan, berusaha menguatkan satu sama lain sambil terus berharap yang terbaik untuk kakek mereka.

Mereka mengantarkan Harun hanya sampai pintu UGD. Suasana saat itu dipenuhi dengan kecemasan. Devian, Mara, Sagara, Shaga, dan Savalas menunggu dengan hati berdebar, berharap yang terbaik untuk Harun.

Setelah waktu yang terasa seperti berjam-jam, dokter akhirnya keluar dari ruang gawat darurat dengan wajah serius.

Devian segera berdiri dan mendekati dokter. "Dokter, gimana keadaan ayah saya?"

Dokter, seorang pria berusia empat puluhan dengan wajah yang penuh keprihatinan, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Saya harus memberikan berita yang tidak mudah. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang diderita oleh Pak Harun semakin memburuk. Kami sudah melakukan yang terbaik untuk memberikan pertolongan, tapi kondisi paru-parunya sangat lemah."

Mara menutupi mulutnya dengan tangan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Apa artinya, Dokter?Apa yang bisa kami lakukan? Ayah bisa sembuh, kan? Katakan itu, Dok."

Dokter menghela napas dan menjelaskan, "PPOK adalah penyakit yang menyebabkan saluran udara di paru-paru menyempit dan meradang, sehingga sulit untuk bernapas. Kondisi ini bisa dipicu oleh banyak hal, termasuk infeksi, polusi udara, atau merokok. Pada tahap yang sudah parah, seperti yang dialami Harun, paru-paru mengalami kerusakan yang sulit diperbaiki. Dia kesulitan mendapatkan cukup oksigen, dan ini bisa berakibat fatal."

Sagara merasakan dadanya sesak dan air mata mulai menggenang di matanya. Mati-matian pemuda itu mengontrol nada bicara. "Dokter bakal nyelamatin Kakek, kan?"

Dokter menggelengkan kepala dengan wajah penuh simpati. "Kami akan terus memberikan perawatan paliatif untuk membuatnya senyaman mungkin. Namun, kami harus realistis dengan kondisi ini. Saya sarankan kalian untuk menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama beliau, memberikan dukungan dan cinta yang dibutuhkan."

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang