Malam harinya, Tamara beserta anak-anak makan malam dengan tertib. Hanya Savalas yang tidak ikut bergabung dengan mereka malam ini.
"Mah, Savalas gimana?" tanya Shaga memecah keheningan. Ia benar-benar merasa khawatir pada Savalas.
"Mama udah kasih dia sup hangat, kok. Katanya dia bakal makan sebentar lagi. Semoga aja beneran dimakan," jawab Tamara.
Shaga mengangguk, terdiam beberapa saat. Pemuda itu mencoba untuk tetap percaya pada adiknya. Tidak mungkin Savalas sekejam itu, kan, sampai tidak memakan makanan buatan Tamara?
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Hal itu membuat Tamara menoleh tajam, waspada dengan suara ketukan tersebut.
"Mah, siapa?" tanya Shaga.
"Gak tahu, biar Mama buka dulu pintunya. Kalian habiskan makan malam. Jangan ada yang tersisa."
Tamara berjalan untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, wanita itu sempat terkejut dengan kehadiran Devian yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Hai, aku pulang," sapa Devian.
"Loh? Eh, iya. Selamat datang," balas Tamara mencium tangan Devian.
Devian tersenyum tipis. Pria itu mengacak rambut Tamara sebelum masuk ke dalam.
"Anak-anak di mana?" tanya Devian.
"Anak-anak lagi makan malam. Tapi cuman Sagara sama Shaga doang, soalnya Savalas masih demam. Gak tahu kenapa demamnya malah makin tinggi," jawab Tamara terdengar resah.
Devian terdiam. Ia mengangguk dan menepuk pundak Tamara. "Biar aku yang ke kamarnya buat cek keadaan dia, ya. Kalau demamnya belum turun dalam tiga hari, Savalas harus dirawat."
Setelah itu, Devian berjalan menuju ruang makan, sempat mengecek Sagara dan Shaga. Hanya sebentar, sebelum pria itu naik ke kamar atas untuk membicarakan sesuatu dengan Savalas.
"Savalas, buka pintunya. Kamu belum tidur, kan? Ini Ayah," ucap Devian mengetuk pintu kamar Savalas.
Tak ada suara dari dalam. Apa benar Savalas sudah tidur? Devian kembali mengetuk pintu, siapa tahu kali ini Savalas akan mempersilakan ia untuk masuk.
"Savalas, Ayah mau ngomong. Sebentar aja, kok. Boleh, kan?" tanya Devian membujuk Savalas.
Tak lama, terdengar suara kunci beserta pintu yang mulai terbuka lebar. Terlihat Savalas yang berwajah pucat sedang berdiri di ambang pintu.
"Apa? Cepet masuk. Kepala Savalas pusing," ucapnya berjalan limbung untuk duduk di tepi kasur.
Devian mengangguk. Ia duduk di samping Savalas, sempat menempelkan punggung tangannya ke dahi Savalas untuk mengecek suhu tubuh.
"Panas," guman Devian.
Tak lama setelah Devian bergumam, Sagara memalingkan wajah. Pemuda itu sedikit mengambil jarak dari Devian, membuat Devian menghela napas berat.
"Mau ngomong apa?" tanya Savalas tanpa menoleh.
"Kamu udah makan sama minum obat?" Devian mulai bicara, sekadar basa-basi sebelum berlanjut ke pembicaraan inti.
"Gak usah peduli. Bang Gara sama Mama perhatian, kok, ke Savalas."
Ah, sepertinya Savalas masih sangat sakit hati atas perbuatannya di masa lalu. Jika begini, Devian harus bagaimana lagi untuk meluluhkan hati anaknya?
"Kamu mau minta sesuatu, gak, biar cepet sembuh? Ayah kabulkan, deh, permohonan Savalas. Ayah kepikiran kamu, loh. Mulai sekarang jangan maksain diri lagi, ya," ucap Devian masih berusaha merobohkan tembok yang Savalas bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Satu kesalahan kecil memiliki dampak yang besar." Keluarga cemara. Ya, itu kata orang sekitar saat melihat keluarga mereka. Namun, tidak bagi Savalas. Ia tidak menemukan arti cemara di keluarganya, meskipun kondisinya saat ini adalah apa yang ia h...