Bab 13 : Ancaman

14 7 4
                                    

Keesokan harinya, tepat setelah bel pulang berbunyi, Sagara melangkah agak cepat menuju suatu tempat. Bahkan pemuda itu meninggalkan adik-adiknya yang sekarang sedang kebingungan.

"Heh, Ibu." Sagara menyeru Anna yang hendak pulang.

Anna menaikkan alisnya saat Sagara menyeru wanita itu. Senyuman terpatri di bibirnya yang indah.

"Ada apa?" tanya Anna. "Ada tugas yang belum kamu selesaikan?"

Sagara melihat sekeliling yang masih banyak orang berlalu-lalang. Akan sangat tidak etis jika Sagara membicarakan hal ini di depan banyak orang. Pemuda itu menghela napas panjang, berusaha untuk meregulasi emosinya.

"Bisa ngobrol berdua? Terkait les saya, Bu," jawab Sagara tersenyum manis. Namun, di hatinya ia sangat-sangat ingin mencabik mulut wanita yang ada di hadapannya.

Anna sedikit tersenyum miring. "Oh, baiklah. Kebetulan rumah kita searah. Ayo ikut bersama Ibu."

Sagara menganggukkan kepala, mengikuti Anna dari belakang. Berkali-kali Sagara meremas celananya untuk mengendalikan emosi yang hampir saja meledak.

Sabar, Sagara. Lo bisa. Bisa gila, anjing. Batin Sagara mengepalkan kedua tangannya.

Setibanya mereka di kediaman Anna, Sagara langsung saja bicara pada intinya.

"Saya ke sini meminta dengan hormat pada Anda untuk tidak memberikan tugas tambahan kepada adik saya. Apa yang Anda lakukan pada adik saya sangat tidak manusiawi. Karena itu saya memohon, tolong bersikap adil. Siswa Anda bukan hanya adik saya," ucap Sagara dengan suara yang gemetar menahan emosi.

Mendengar hal itu, Anna terdiam beberapa saat. Tak lama kemudian, wanita itu tertawa remeh.

"Jadi dia memberitahu kakak-kakaknya, ya. Sungguh mengejutkan," ucap Anna dengan tenang.

Tangan Sagara semakin gemetar karena berusaha sekuat tenaga untuk menahan emosinya agar tidak lepas kendali.

"Tolong jangan memancing emosi saya, Bu. Saya meminta dengan hormat pada Anda, Bu Anna. Jika Anda terus seperti itu, saya bisa melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib," ancam Sagara melemparkan tatapan tajam.

Sontak saja ancaman Sagara membuat Anna tertawa. Ia menganggap bahwa ancaman Sagara hanyalah sebuah lelucon belaka. Wanita itu melipat kedua tangannya, memandang Sagara yang sedang melemparkan tatapan tajam.

"Siapa kamu bisa dengan mudahnya ingin melaporkan aku ke pihak yang berwajib? Aku sudah memberitahu Savalas untuk tidak mengadu, tapi rupanya dia punya keberanian untuk mengadu padamu, ya."

"Bacot lah anjing. Gue mau lo berhenti mulai detik ini buat gak memperlakukan adik gue seenaknya. Lo guru paling bejat tahu nggak? Kalau ayah sampe tahu hal ini, lo bisa mati di tangan dia. Jadi gue mohon buat ikuti apa yang gue omongin, sebelum semuanya terlambat," ucap Sagara kembali memberikan ancaman.

Namun, sepertinya Anna tidak merasa takut sama sekali dengan ancaman Sagara. Wanita itu melihat Sagara dari ujung rambut hingga ujung kaki, lantas tertawa merendahkan.

"Kau memang benar-benar anaknya Tamara."

Sagara terkejut. Bagaimana bisa Anna mengetahui nama ibunya?

"Tahu dari mana lo nyokap gue hah?" ketus Sagara.

"Sama-sama tidak punya etika pada orang yang lebih tua," sambung Anna berhasil menyunggingkan senyum miring di akhir kalimatnya.

Kepalan tangan Sagara semakin erat. Napasnya sudah mulai tidak beraturan hanya karena menahan emosi yang semakin tak terkendali.

"Tahu apa lo soal nyokap gue, hah?! Gak usah tebar fitnah! Sekali lagi lo berbuat yang seenaknya ke adek gue, hidup lo gak akan penah tenang. Lo camkan itu, Anna. Gue gak pernah main-main sama ancaman gue, bajingan!" gertak Sagara mulai kehilangan kendali.

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang