Bab 7 : Kecurigaan

27 10 18
                                    

01.00

Di dalam kamar yang memiliki pencahayaan buruk, Savalas sedang mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru les sekaligus guru Bahasa Indonesia di sekolah. Pemuda itu mengucek matanya yang berair, sempat membuka kacamata tersebut sebelum ia kembali memakaikannya.

"Hhh, artikel lagi artikel lagi," keluh Savalas mulai mencari jurnal di internet yang sesuai dengan tema artikel.

Selain mencari dari internet, Savalas juga mencari informasi dari buku yang sengaja pemuda itu beli. Setelah menyaring banyak informasi, barulah Savalas memparafrasekan apa yang ada di buku dan jurnal ke bahasanya sendiri.

"Hayo, belum tidur."

Deg!

Savalas terkejut. Pemuda itu menoleh ke sumber suara, tepat di mana Shaga sedang bersandar di pintu kamarnya.

"Anjirlah, datang-datang ngagetin. Lagian kenapa lo seenaknya masuk ke kamar gue, sih?" tanya Savalas menghela napas lega. Ia lekas menutup buku dan mematikan laptop, kemudian berjalan ke arah Shaga.

Sementara Shaga menaikkan bahunya, memberikan tatapan datar. "Loh, aku udah ngomong tapi kamu sibuk ngedumel sendirian. Ya bukan salah aku, dong. Hayo, kenapa jam segini masih belum tidur? Udah jam dua pagi."

"Lah, lo juga kenapa masih belum tidur?" tanya Savalas sedikit kesal.

"Aku kebangun. Ini habis dari toilet," jawab Shaga. Pemuda itu menghampiri kasur Savalas dan tiduran di atasnya.

"Kasur kamu empuk juga, Val." Shaga meregangkan otot-ototnya seraya menguap, mencari posisi yang enak untuk terlelap. "Aku ikut tidur di sini gapapa kali ya?"

Mendengar hal itu, Savalas berdecak sebal. "Gak. Udah lah, sana pergi ke kamar lo sendiri."

"Ih, gitu ih. Ngusir, nih? Sakit hati loh aku," protes Shaga segera bangun dan membenarkan posisinya.

Savalas memutarkan kedua bola matanya, tidak ambil pusing dengan Shaga yang protes dengan apa yang baru saja ia katakan. Toh, dia tidak merasa salah. Pemuda itu merebahkan tubuhnya ke kasur dengan kasar, memejamkan mata dan berbalik membelakangi Shaga.

"Kamu kenapa, sih, Savalas?" Kini, suara Shaga terdengar lebih serius dari sebelumnya.

"Kenapa apanya? Diem, deh. Gue mau tidur," sahut Savalas masih berusaha untuk terpejam.

"Ya enggak, maksudnya aneh aja gitu. Kenapa sering begadang dan ngeliat layar HP sama laptop dengan pencahayaan yang kurang? Bukannya kamu punya mata minus sama silinder, ya? Nanti kalau minus sama silindernya nambah gimana? Lagian gak ada yang nyuruh kamu buat terus belajar, loh, Savalas. Kamu terlalu maksain diri."

Savalas terdiam sejenak untuk mencerna kata-kata yang dilontarkan oleh Shaga, lantas membuang napas kesal.

"Iya emang gak ada, tapi gue sendiri yang pengen. Lagian apa salahnya belajar? Hasil ujian matematika kemarin aja nilai gue 96," protes Savalas terdengar kesal.

"Lah terus? Bukannya bagus, ya, dapet nilai 96? Di antara temen sekelas, cuma kamu sama kakak sulung kita yang dapet nilai yang paling tinggi. Aku aja 80 udah seneng. Kenapa kok kayak kesel banget kedengerannya?" tanya Shaga masih terus mengajak Savalas bicara.

Untuk yang ke sekian kalinya, Savalas membuang napas kesal. Pemuda itu mengubah posisinya, duduk berhadapan dengan Shaga.

"Bagi gue 96 itu kecil. Sagara dapet nilai 98, lebih tinggi dari gue. Ya gak mungkin gue gak ngerasa gagal. Gue biasa dapet nilai di posisi sagara, tapi sekarang dia ngerebut posisi itu, sialan. Gue benci ada orang yang ngerebut posisi tetap gue. Lo bisa ngertiin itu?"

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang