Savalas tertegun. Ia tidak pernah ditanya kabar oleh ayahnya semenjak tinggal bersama. Entah mengapa, kali ini perasaannya sedikit sesak.
"Aku—Savalas baik, Kek," jawab Savalas tersenyum tipis.
"Shaga juga baik, Kek. Jadi ini Kakeknya Shaga? Kek, Kakek tahu, nggak? Bang Gara sama Savalas sempet diculik, loh," ucap Shaga mengadu pada kakeknya.
Raut wajah Harun terkejut. Pria paruh baya itu menatap Sagara dan Savalas dengan penuh kekhawatiran, sementara Sagara melotot ke arah Shaga.
"Eh, beneran? Kalian gapapa? Udah ke rumah sakit, kan? Aduh, kenapa Kakek gak dikasih tahu?" tanya Harun. "Savalas, sini, Sayang. Masih ada yang sakit?"
Mendengar suara lembut kakeknya, membuat Savalas merapatkan bibir. Ia senang, namun di waktu yang bersamaan hatinya terasa sakit. Pemuda itu berjalan menuju kakeknya, duduk di pinggir sofa.
"Savalas gapapa, Kek," jawab Savalas seadanya.
"Beneran? Gara, kenapa bisa terjadi? Kamu kok gak kabari Kakek?" tanya Harun kali ini menatap Sagara.
Sagara menghela napas berat. "Gara sama Savalas gak kenapa-kenapa, Kek. Lagian penculiknya udah dapet hukuman, jadi aman, kok. Kakek gak usah khawatir lagi, ya."
"Hhh, tetep aja. Kalian ini cucu kesayangan Kakek, gimana Kakek gak khawatir, coba? Kalian ini, ya. Dasar anak pintar," gumam Harun menjewer telinga mereka berdua.
Sagara dan Savalas refleks mengeluarkan suara minta tolong. "A-aduh, aduh. Kakek, udah. Maaf, maaf. Jangan ditarik, dong. Nanti telinga Gara copot."
"K-kakek... Maaf." Savalas masih tidak tahu harus bicara apa, meskipun di hatinya terdapat rasa bahagia.
Tamara yang baru saja keluar dari kamar mandi, berjalan perlahan menuju ke ruang tamu. Saat melihat siapa yang sedang berdiri di sana, wajahnya langsung berseri-seri. Tanpa ragu, ia melangkah cepat dan mencium tangan Harun, ayah mertuanya sekaligus kakek dari anak-anaknya.
"Ayah, kapan datang?" tanya Tamara sambil tersenyum lebar.
Harun mengusap kepala Tamara dengan lembut. "Halo, Mara. Gimana kabar kamu?" tanyanya dengan suara lembut.
"Kabar baik, Ayah," jawab Tamara dengan penuh kehangatan. "Tapi kenapa Ayah datang sendirian? Kalau tahu Ayah mau dateng ke sini, kan, Mara bisa bilang ke Devian buat jemput Ayah."
Harun tersenyum tipis, "Ayah sengaja mau kasih kalian kejutan. Ayah juga udah lama gak ke sini, gak nengok menantu Ayah."
Sagara yang mendengar pembicaraan itu ikut menyahut. "Kenapa Kakek gak nginep di rumah aja?" Ia kemudian menoleh ke ibunya dengan tatapan memohon. "Boleh kan, Ma? Kakek nginep di rumah selama seminggu?"
Tamara tersenyum melihat antusiasme anaknya. "Boleh banget, Nak. Mama jauh lebih seneng kalau Kakek tinggal lebih lama di sini."
Harun tertawa kecil, merasa hangat dengan sambutan keluarga. "Kalau begitu, Ayah akan nginep di sini selama seminggu. Makasih sebelumnya, Mara."
Suasana penuh kehangatan dan kegembiraan pun kembali mengisi ruangan, dengan keluarga besar yang semakin lengkap dengan hadirnya Harun. Mereka pun mulai mengatur agar Harun merasa nyaman di rumah, sementara percakapan hangat terus berlanjut sepanjang malam.
Kehadiran Harun di rumah ini menjadi pelita harapan dalam memperkuat hubungan persaudaraan antara mereka bertiga yang masih sedikit renggang. Pria paruh baya itu mampu dengan mudah menyatukan mereka bertiga, bahkan memberikan kasih sayang seorang kakek yang belum pernah Shaga dan Savalas rasakan.
🏮
Malam itu, suasana di ruang keluarga penuh dengan kehangatan. Harun duduk di sofa sambil menonton televisi bersama cucu-cucunya. Sagara tiduran di pangkuan Harun, tersenyum lebar setiap kali kakeknya mengelus kepalanya dengan lembut. Di samping mereka, Shaga asik mengunyah camilan sambil fokus pada tontonan yang sedang diputar. Pemuda itu sepertinya mengabaikan sekitar dan hanya fokus pada acara televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SUDAH TERBIT]
Ficção Adolescente"Satu kesalahan kecil memiliki dampak yang besar." Keluarga cemara. Ya, itu kata orang sekitar saat melihat keluarga mereka. Namun, tidak bagi Savalas. Ia tidak menemukan arti cemara di keluarganya, meskipun kondisinya saat ini adalah apa yang ia h...