Bab 11 : Nostalgia

21 8 21
                                    

Beberapa hari kemudian, Savalas sudah benar-benar fit. Sagara pun mengembalikan ponsel Savalas yang selama Savalas sakit, ponsel anak itu ada padanya.

Namun, meski begitu Sagara masih tetap mengawasi Savalas. Selama Savalas sakit, pemuda itu mendapatkan banyak informasi tentang Anna. Bagaimana kehidupannya dan apa yang sudah Anna perbuat pada Savalas di belakang.

Kali ini, Sagara pulang paling telat karena keasikan melihat senja. Bahkan jika bukan karena Tamara yang mengingatkannya, mungkin Sagara masih di taman saat ini.

Pemuda itu membuka pintu, berjalan masuk dan hendak menuju kamar. Entah mengapa, saat ini Sagara ingin sendirian tanpa ada seorangpun yang mengganggu ketenangannya.

"Loh, Bang. Sini, lah. Jangan ngurung diri mulu di kamar," ucap Shaga melihat Sagara yang menaiki anak tangga.

Sagara membuang napas berat. Ia menoleh ke arah Shaga yang sedang menonton film.

"Lo aja, gue capek," tolak Sagara mentah-mentah. Nadanya ketus tanpa ia sadari.

"Cih, kalau gitu Bang Gara gak ada bedanya sama Savalas. Sama-sama suka ngurung diri di kamar. Kok hobi banget sendirian, sih, heran."

"Katanya kalian mau bantu ngembaliin ingatan masa kecil Shaga. Kalau kayak gini gimana Shaga bisa inget semuanya? Terserahlah, gimana kalian," gerutu Shaga kembali fokus menonton film. Ia merajuk, kesal dengan kedua saudaranya yang hanya bisa mengucap janji tanpa menepatinya.

Sagara menghela napas lelah. Ia kembali menuruni anak tangga dan duduk di sebelah Shaga. "Gak gitu loh, Shaga. Udahlah, jangan ngambek. Gue minta maaf, nih."

"Gik giti lih, Shigi." Shaga mengulang kembali perkataan Sagara dengan nada mengejek, membuat Sagara kebingungan bagaimana cara menghadapi adik pertamanya. 

"Ya terus gue harus gimana?" tanya Sagara menggaruk kepala.

Shaga masih enggan menjawab. Ia memilih untuk fokus pada film kartun kesukaannya.

"Ah elah, gue udah di sini juga. Baperan amat, heran," umpat Sagara ikut mengalihkan atensi pada film kartun.

"Ya habisnya, sih. Bang Gara akhir-akhir ini suka ngurung diri mulu di kamar, Savalas juga ketus sama suka ngasih kata-kata sarkas ke aku. Gimana aku gak baperan, Bang? Aku loh manusia juga kayak kalian," protes Shaga tidak terima jika dirinya dianggap seperti itu.

Hei, ayolah. Dia juga manusia. Apakah tidak boleh merasa tersinggung?

Sagara menghela napas lelah. "Ya udah, iya. Gue traktir, deh, sebagai permintaan maaf."

"Coklat, titik."

"Hah?" Dahi Sagara berkerut.

"Ya Bang Gara bilang mau traktir Shaga, kan? Traktirnya coklat, ya? Ya? Ya? Iya? Boleh, kan, Bang?" tanya Shaga memamerkan deretan giginya yang rapi. Tidak seperti sebelumnya, ekspresi Shaga kali ini terlihat seperti anak kecil yang menagih janji orang tuanya.

Hal itu membuat Sagara kembali menghembuskan napas kesal. "Giliran coklat aja. Inget, bentar lagi lo tambal gigi. Terakhir, loh, ya. Gue gak akan ngizinin lo beli coklat lagi setelah lo tambal gigi berlubang lo itu."

"Iya deh, iya. Terakhir, kok, ini," sahut Shaga cemberut.

"Hm."

Mereka berdua kembali hening, sama-sama menikmati tontonan. Entah ke mana pula Tamara pergi, mengingat sudah pukul 17.30, wanita itu masih belum pulang ke rumah.

"Mama ke mana, Shaga?" tanya Sagara.

Shaga mengangkat bahunya, menandakan bahwa ia tidak tahu.

"Mamah akhir-akhir ini sering pergi keluar rumah, tapi aku gak di kasih tahu ke mana perginya," jawab Shaga.

"Oh."

Sagara tidak terlalu memikirkannya, tidak ada gunanya juga memikirkan ke mana Tamara pergi.

"Oh, iya, Bang. Ceritain dong gimana masa kecil kita, aku penasaran. Gak ada banget ingatan yang masuk ke kepala aku, loh, Bang. Sedih aku tuh," ucap Shaga mulai curhat. Pemuda itu benar-benar penasaran dengan masa kecil mereka.

Sagara melirik sekilas, lantas mengalihkan tatapan ke arah lain. "Hhh, panjang ceritanya."

"Secara singkat juga gapapa, kok. Shaga dengerin. Siapa tahu dari cerita Abang, Shaga dapet secuil memori."

"Hhh, iya, iya," balas Sagara pasrah.

Ekspresi Shaga terlihat senang. Pemuda itu tersenyum lebar dengan mata yang berbinar.

"Yes!!!"

Sementara itu, Sagara terdiam beberapa saat untuk memutarkan kembali memori masa kecil mereka.

"Dulu kalian tuh sering banget pulang ke rumah dengan luka di badan, soalnya kalian nakal. Mama sampe hela napas berat ngurusin kalian," ucap Sagara mulai terbawa nostalgia. Pemuda itu terkekeh pelan tanpa sadar, mengingat betapa lucunya mereka berdua dimarahi Tamara.

"Terus? Terus? Abang enggak dimarahin?" tanya Shaga dengan antusias.

Sagara tertawa lepas mendengar pertanyaan yang Shaga lontarkan.

"Ya enggak, lah. Kalian yang bandel, kenapa gue yang harus ikut kena marah? Gue mah anak baik. Lagian udah gue kasih tahu buat jangan terlalu aktif, kalian gak mau dengerin."

"Ya udah, karma nya kalian pulang ke rumah dalam keadaan baju yang kotor sama tangan luka-luka. Padahal itu kalian 30 menit yang lalu baru beres mandi, loh. Gue masih ngakak gimana lucunya kalian nangis-nangis minta ampun ke mama."

Shaga hanya bisa membayangkan seperti apa yang Sagara bicarakan padanya. Ternyata meskipun Sagara menceritakannya, tak ada ingatan yang mampir. Shaga bertanya-tanya, sehangat apa keluarganya di masa lalu?

"Terus gimana lagi, Bang?"

"Kalian suka banget sama yang namanya es krim. Apalagi rasa stroberi. Kalian pasti nangis-nangis mohon ke gue buat dibeliin es krim, karena kalian tahu mama sama ayah gak akan pernah ngizinin kalian buat keseringan beli es krim. Ya walaupun ujung-ujungnya gue kena omel sama mereka karena ngizinin kalian beli es, apalagi waktu itu kalian sampe sakit."

Sagara menggelengkan kepala mengingat masa lalu. Rupanya rasa kesal di hati Sagara tidak pernah hilang hingga saat ini, terutama ketika ia menceritakan kembali masa-masa indah sewaktu mereka kecil. Tanpa sadar, muncul perasaan ingin kembali ke masa-masa itu.

"Kalian juga lengket banget ke gue, gak mau lepas. Pokoknya baju harus samaan, walau dari dulu warna kesukaan kita beda. Lo suka warna biru muda, gue suka hitam merah, savalas suka jingga sama kuning."

"Waktu itu juga kita apa-apa kompak, apalagi savalas. Dia orang yang paling excited ceritain semua hal yang pernah dia alami. Dia suka dipeluk, apalagi sama gue.

"Gue kangen, Shaga. Gue kangen kita yang dulu. Sekarang semuanya terasa asing, walau gue tetep punya keyakinan kalau kita bakal kayak dulu. Mengulang momen bahagia itu bertiga, bareng mama sama ayah yang fotoin kita. Menurut lo gimana, Shaga?"

Begitu Sagara menoleh, siapa sangka adiknya itu tertidur pulas di sofa. Ia tersenyum. Bersamaan dengan itu, urat-urat di sekitar leher muncul, menandakan dia sangat kesal.

"Goblok lah, curut. Gue udah ceritain juga malah tidur. Sialan emang. Ah elah, sia-sia gue cerita. Padahal gue butuh waktu yang lama buat bisa berani ngomong jujur kayak gini. Cih, emang dasar polar bear. Dari dulu denger cerita dikit aja, lo ketiduran. Hhh!!" gerutu Sagara.

Pemuda itu membuang napas kesal dan beranjak dari sofa, membiarkan Shaga tidur di sofa itu dan berjalan ke kamarnya. Lagipula akan sangat sia-sia jika ia membangunkan Shaga, karena anak itu akan tetap tertidur lelap layaknya beruang kutub yang sedang hibernasi.

Ia menaiki tangga, hendak memasuki kamarnya. Namun, saat melihat pintu kamar Savalas yang sedikit terbuka, membuat rasa penasarannya mengalahkan niat Sagara untuk istirahat di dalam kamar. Pemuda itu memutar arah menuju kamar Savalas dan mengintip adiknya.

"Lagi ngapain, hah? Tugas apa lagi yang lo kerjain?"

Savalas membalikkan badannya, merasa terkejut dengan suara Sagara.

"B-bang Gara?"

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang