Bab 4 : Interaksi Ibu dan Anak

24 12 25
                                    

Sagara dan Shaga sudah tiba di dalam rumah. Mereka berdua pergi ke kamar masing-masing dan membersihkan diri. Tak lama setelah itu, mereka turun mengenakan pakaian tidur.

"Ah, ngantuk banget. Rasanya pengen susu cokelat hangat," ucap Shaga melakukan peregangan.

"Loh, mamah mana? Tadi waktu pulang masih ada, loh." Saat mengetahui bahwa Tamara tidak ada di rumah, Shaga mengamati sekitar.

"Ada keperluan, kali. Udahlah, palingan bentar lagi juga pulang," sahut Sagara tak terlalu peduli dan memilih untuk pergi ke ruang keluarga. Ia mengambil remote, menyalakan televisi seraya membawa camilan yang akan menemaninya menonton.

Melihat hal itu, Shaga mengikuti kakak tertuanya menuju ruang keluarga dan duduk di sofa yang bersebelahan dengan Sagara.

"Bang, minta camilannya."

"Ambil sendiri. Lo punya tangan," ucap Sagara tak lepas dari kata-kata sarkasnya.

Shaga membuang napas kesal, lantas tangannya hendak mengambil salah satu camilan yang membuat pemuda itu tertarik.

"Asal jangan lo ambil brownies. Gue tahu lo ngincer makanan berbau cokelat." Sagara kembali bersuara, menghentikan gerakan tangan Shaga yang hampir mengambil brownies buatan Tamara.

Shaga menoleh ke arah Sagara dan memberikan tatapan memohon, berusaha membujuk kakak tertuanya untuk mengizinkan ia mencicipi makanan tersebut.

"Apa ngeliat gue? Dikira gue bakal luluh? Gak, ya. Gak akan pernah gue kasih lo izin makan makanan manis terlalu banyak," sarkas Sagara.

"Dih, tega bener omongannya," protes Shaga. Terlihat sekali dari raut wajahnya bahwa ia sedang menahan kesal.

Sagara memutarkan kedua bola matanya, tidak peduli dengan apa yang dikeluarkan dari mulut Shaga. Pemuda itu kembali fokus pada acara televisi seraya mulai mengunyah camilan miliknya.

"Bodo amat, Shaga. Gak peduli gue. Lagian itu buat kebaikan lo juga. Gak liat diri sendiri? Lagian di antara gue sama savalas, cuman lo yang pipinya tembem. Terlalu sering makan cokelat bisa bikin lo obesitas," tegur Sagara dengan nada yang tegas.

"Heh, nyelekit banget, Bang. Halusin dikit kek omongannya." Shaga memegang kedua pipinya yang memang terasa lebih berisi dibandingkan dengan kedua saudaranya yang lain.

Sagara melirik sekilas, kemudian kembali menonton televisi yang menayangkan film kegemarannya. Tak terlintas sedikit pun rasa bersalah akan ucapan yang ia lontarkan pada Shaga. Toh, ucapannya benar.

Pada akhirnya, Shaga turut fokus menonton acara televisi meski saat saat ini ia masih memikirkan perkataan Sagara.

Beberapa saat kemudian, Tamara pulang seraya membawa kantong belanjaan di kedua tangannya. Melihat hal itu, Sagara berinisiatif untuk menghampiri Tamara dan membantu.

"Ma, sini biar Gara bantu," ucap Sagara.

Tamara menoleh, lantas tersenyum dan menganggukkan kepala. "Makasih, ya."

Sagara mengangguk, membawakan barang belanjaan Tamara menuju dapur. Sementara itu, Shaga menyusul Ibu dan kakaknya dari belakang.

"Mah, Mamah ke mana aja? Kok gak ada suara Mamah ngunci pintu, sih?" tanya Shaga menyuarakan keheranannya.

"Kamu aja di kamar mandi sambil nyanyi, mana bisa denger kalo Mama ngunci pintu. Mama bilang mau beli stok buat di dapur aja gak direspons," jawab Tamara mulai memasukkan stok cabai merah ke dalam kulkas.

"Eh?"

Mengingat itu, Shaga tertawa canggung seraya menggaruk tengkuknya.

"Hehe, maaf, Mah."

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang