Bab 8 : Arti Sebuah Keluarga

36 10 9
                                    

Pagi ini udara terasa lebih dingin dari biasanya. Namun, udara dingin tak berpengaruh bagi Sagara. Pemuda itu justru menikmati udara dingin di pagi hari yang memperlihatkan awan mendung, sepertinya akan turun hujan.

Ia melihat jam di ponselnya, sudah pukul 09.30 pagi, dan guru mata pelajaran pertama sedang berhalangan hadir. Kini Sagara sedang berada di rooftop, tempat kesukaannya di sekolah. Lagi pula tidak banyak orang yang mau menghabiskan waktu mereka di atas rooftop.

Pemuda itu memejamkan mata saat kemarin dirinya tak sengaja mendengar percakapan Shaga dan Savalas. 

"Gue biasa dapet nilai di posisi sagara, tapi sekarang dia ngerebut posisi itu, sialan. Gue benci ada orang yang ngerebut posisi tetap gue. Lo bisa ngertiin itu?"

Intonasi suara Savalas terdengar seakan ia tidak suka Sagara merebut peringkat tetapnya. Padahal Sagara juga tidak punya niatan untuk merebut apa yang sudah Savalas miliki. Lagi pula ia hanya memahami rumus matematika saja, seharusnya jika Savalas bijak, nilai Savalas bisa lebih tinggi darinya.

"Hhh, kakek, Gara harus gimana? Gara gak nyaman ada di rumah ini, kek. Rumah ternyaman Gara cuman rumah kakek," guman Sagara.

Sagara juga manusia yang punya perasaan. Mendengar hal itu terlontar dari mulut adiknya sendiri, jelas menggoreskan luka di hatinya. Kenapa Savalas harus memendamnya seorang diri? Apakah tidak bisa jika dia bicara langsung di hadapan Sagara? Toh, dia kakaknya juga, kan? Atau jangan-jangan, Savalas tidak menganggapnya kakak sama sekali?

"Sebenernya apa yang lo mau, Savalas? Dulu lo ngemis-ngemis ke gue buat ikut ayah sama mama, tapi tindakan yang lo lakuin seakan lo gak butuh gue di rumah. Tahu gitu gue gak perlu ninggalin kakek di Yogyakarta sendirian." 

Sesaat setelah bergumam, Sagara mendongak ke atas langit. Rintik hujan mulai turun membasahi wajahnya, perlahan berubah menjadi hujan yang cukup lebat. Jika kebanyakan orang normal akan langsung mencari tempat untuk berlindung, Sagara justru menutup mata dan menikmati setiap tetesannya. 

Tak lama, pemuda itu kembali membuka mata tatkala ucapan Savalas kembali terputar di kepalanya. 

Anna. Satu-satunya nama yang muncul di kepala Sagara. Pemuda itu tidak berniat untuk menguping, tetapi karena sudah terlanjur bangun dari tempat tidur, ya apa boleh buat.

Setahu gue guru itu gak pernah ngasih tugas sebanyak itu ke anak kelas. Ayo, pikir lagi, Sagara. Kapan dan di mana dia bisa berperilaku seenaknya ke Savalas.

Sagara mencoba untuk mengingat apa yang pernah Savalas katakan pada Shaga kemarin malam. Sesaat kemudian, raut wajahnya semakin serius tatkala ia mulai mengingat.

"Les private," gumam Sagara.

Iya, tidak salah lagi. Pasti Anna bisa leluasa berperilaku seenaknya pada Savalas hanya saat les private. Tiba-tiba saja Sagara teringat jika Savalas pernah pulang malam.

"Kenapa gue gak kepikiran sampai ke sana?"

Baiklah, untuk hal ini Sagara akui ia menyesal karena tidak mendengarkan sudut pandang Savalas. Tapi itu bukan kesalahannya juga, kan?

Tatapan Sagara menyorot tajam. Pemuda itu memilih untuk meninggalkan rooftop dan mencari Shaga, karena hanya Shaga yang tahu sudut pandang Savalas saat dirinya ada bersama Tamara di ruang keluarga.

Banyak orang yang membicarakan Sagara saat melihat penampilannya yang basah kuyup seperti itu, tak jarang pula ada guru-guru yang menegurnya. Namun, hal itu tidak terlalu Sagara pedulikan. Intinya Sagara harus segera bertemu dengan Shaga dan menanyakan beberapa pertanyaan.

Tak lama, Sagara melihat Shaga yang sedang berbaring di UKS. Pemuda itu melirik ke dalam dengan raut wajah datar, lantas segera masuk tanpa banyak bicara.

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang