Bab 25 : Membabi-buta

11 6 10
                                    

Pagi hari telah tiba, membuat pandangan Sagara mulai terlihat jelas. Ia dengan cepat melihat ke samping kanannya, memeriksa keadaan Savalas yang masih tertidur. Sejak kemarin malam, pemuda itu tidak bisa tidur dan masih mencoba mencari cara untuk bisa terbebas dari penculikan ini.

"Savalas," panggil Sagara. Pemuda itu sejak semalam terus memikirkan perkataan Savalas. Ia berniat untuk mengajak anak itu bicara agar pertanyaan di hatinya bisa terjawab langsung hari ini juga.

Namun, Savalas masih belum membuka mata. Aliran napas Savalas melambat, terlihat dari dadanya yang naik-turun sedikit lebih lambat dari napas orang normal. Hal itu membuat Sagara berdecak sebal, merasa khawatir akan keadaan adik terakhirnya. 

"Ck, sialan. Ikatan talinya kuat banget, ish," gerutu Sagara. Ia kesal karena tidak ada benda  tajam di sekitarnya yang mungkin bisa membantu Sagara melepaskan tali ini.

Tak lama kemudian, Savalas terbangun dengan napas yang tersengal. Air mata mengucur deras saat kelopak matanya terbuka, melihat sekeliling dengan tatapan takut.

"Heh, lo kenapa?" tanya Sagara dengan ketus, meskipun sebenarnya ia merasa sangat khawatir.

Savalas menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menghirup udara segar sebelum menjawab pertanyaan Sagara. "Gapapa, cuman mimpi buruk doang."

Suasana hening beberapa saat, sebelum akhirnya Sagara kembali buka suara.

"Lo sebenernya mau gak sih gue perhatiin?" tanya Sagara mencoba mengutarakan apa yang sudah lama ia pendam sendirian.

Mendengar hal itu, Savalas terdiam sejenak. Kepala pemuda itu refleks menoleh ke arah Sagara, meskipun tidak memberikan jawaban.

"Kalau lo gak mau gue perhatiin, gue pergi habis ini. Gampang, gue punya kakek. Kakek yang sayang sama gue, kakek yang ngehargain keberadaan gue. Silakan kalo lo keberatan sama semua larangan gue, bilang sekarang. Biar habis ini gue gak akan pulang ke rumah, tapi ke rumah kakek."

Tatapan mata Savalas terlihat tidak terima. Pemuda itu menghela napas berat, mencoba untuk berani berbicara.

"Gue ... Maaf. Gue mau, kok, diperhatiin. Jangan pergi," lirih Savalas menatap lantai yang berdebu.

"Terus kenapa sikap lo seolah-olah lo gak butuh gue di rumah? Lo sendiri, kan, yang ngemis ke gue buat ikut mama sama ayah? Asal lo tahu, gue lakuin itu demi kalian, adik-adik gue. Tahu gini gue gak ninggalin kakek sendirian di Yogyakarta."

"Gue udah ngerelain kebahagiaan gue di Yogyakarta cuman demi lo berdua. Gak bohong kalau gue kangen, gak bohong kalau gue juga sedih shaga hilang ingatan. Bahkan waktu dia pertama kali ketemu gue juga dia malah nanya gue siapa, bukan malah meluk. Sekarang juga lo lupa sama masa kecil? Atau lo sengaja pura-pura lupa, hah?"

Savalas menahan sesak di dada, sebisa mungkin berusaha agar matanya tidak basah.

"Gue beneran lupa, Bang. Serius, gak bohong. Gue beneran lupa semuanya, lupa masa kecil gue sebelum kejadian itu. Gue gak bohong buat yang ini, Bang."

"Gue juga gak mau ngelupain masa-masa indah itu, gue udah lakuin segala cara buat ngembaliin ingatan masa kecil itu, tapi tetep gak bisa. Gak ada satupun ingatan yang terlintas. Apa yang gue dapetin? Gue cuman dapet luka lebam," ucap Savalas.

Gagal. Air matanya mengalir begitu saja seiring dia menjelaskan keadaan. Pemuda itu kali ini menoleh ke arah Sagara, sejenak memberi jeda sebelum kembali memberikan penjelasan.

"Gue minta maaf karena udah ngelupain masa kecil kita bertiga, gue juga minta maaf kalau sekiranya sikap gue yang sekarang beda jauh dari gue yang dulu. Tapi sumpah, Bang. Demi Allah gue gak berniat ngelupain, selama tinggal bareng ayah, cuman kenangan indah bareng kalian sama mama yang nemenin Savalas di kamar." Suaranya mulai gemetar, bersamaan dengan dadanya yang terasa sesak.

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang