Sementara itu, Shaga lagi-lagi terbangun karena mimpi buruk. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam, melihat sekeliling ruangan.
Ia menjambak rambutnya frustrasi, mencoba untuk tetap tenang dan tidak menyalahkan diri sendiri atas hilangnya saudara kembar yang Shaga sayangi.
"Tenang ... Tenang, Shaga. Aku butuh mamah," gumamnya lemas. Pemuda itu berjalan sempoyongan menuruni anak tangga, mencari keberadaan Tamara.
Langkah kaki kecil Shaga berdecak pelan di lantai dapur. Aroma masakan yang sedap tercium semerbak, membuat perutnya keroncongan. Matanya mencari sosok seorang ibu. Di balik meja makan, Tamara terlihat sedang menata lauk pauk dengan telaten.
"Mamah," panggil Shaga dengan suara gemetar.
Tamara menoleh, senyum hangat terukir di wajahnya. "Kenapa, hm? Mau makan?"
Shaga menggeleng pelan. Matanya kembali memanas. "Shaga mau ngomong sama Mamah."
"Ngomong apa? Yuk, duduk dulu." Tamara menepuk kursi di sampingnya.
Shaga duduk, matanya semakin berkaca-kaca. "Mah, Shaga pengen banget ingatan Shaga kembali." Suaranya bergetar, menahan tangis.
Mendengar hal itu, Tamara mengelus lembut rambut Shaga. "Kenapa, Sayang? Ada apa?"
"Shaga sedih, Mah. Shaga mau ingatan itu kembali. Jujur, Mah. Aku benci gak tahu apa-apa tentang masa kecil, tentang abang sama adik aku. Rasanya kayak ada bagian dari diri aku yang hilang."
Tamara merangkul Shaga erat-erat, membiarkan putranya menangis. "Mama tahu ini sulit buat kamu, Sayang. Kehilangan ingatan bukanlah hal yang mudah buat diterima. Tapi inget satu hal, kamu masih punya kita semua. Kami di sini untuk mendukungmu."
"Tapi, Mah. Aku ngerasa kesepian. Shaga cuman pengen kenangan itu kembali. Aku pengen tahu gimana rasanya tumbuh bersama saudara kembar. Aku mau merasakan cinta itu, Mah." Shaga menjelaskan dengan suara yang semakin mengecil di akhir, tangisannya semakin tak bisa ia tampung lagi.
Tamara mengelus rambut Shaga dengan penuh kasih sayang, kali ini wanita itu merasa bimbang antara mendukung Shaga untuk mengembalikan ingatannya atau tetap dengan keegoisannya sendiri. "Mama ngerti banget, Sayang. Mama sama ayah bakal nyari cara buat bantu kamu mengembalikan ingatan itu. Tapi inget, kenangan baru juga bisa kita buat bersama. Kita bisa nyiptain momen-momen indah yang bakal selalu kamu inget."
Shaga mengangguk lemah, merasa sedikit tenang dalam pelukan ibunya. "Makasih, Mah. Aku cuman pengen ngerasa utuh lagi."
Tamara mencium kening Shaga, menenangkannya dengan lembut. "Kita bakal lewati ini bersama, Shaga. Sekarang kamu gak sendirian. Kita semua selalu ada buat kamu, apa pun yang terjadi."
Dalam dekapan ibunya, Shaga merasa sedikit beban yang selama ini menghimpit hatinya mulai terangkat. Pemuda itu bertahan dalam dekapan Tamara sedikit lebih lama sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan mereka.
"Itu pasti ayah kamu. Sebentar, ya, Mama bukain," ucap Tamara melepaskan pelukannya.
Tamara menatap pintu rumahnya yang besar dengan perasaan cemas. Malam ini, Devian akan datang untuk makan malam.
Ketika bel pintu berbunyi, dia menarik napas dalam-dalam dan berjalan ke pintu, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Saat Tamara membuka pintu, Devian berdiri di sana dengan senyum lelah di wajahnya. "Hai, Mara," katanya lembut.
Tamara memaksakan senyum. "Hai, juga. Ayo masuk."
Devian melangkah masuk, sementara Tamara menutup pintu di belakangnya. Mereka berjalan ke ruang makan di mana Shaga sudah duduk menunggu mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction"Satu kesalahan kecil memiliki dampak yang besar." Keluarga cemara. Ya, itu kata orang sekitar saat melihat keluarga mereka. Namun, tidak bagi Savalas. Ia tidak menemukan arti cemara di keluarganya, meskipun kondisinya saat ini adalah apa yang ia h...