Bab 28 : Senyuman yang Hilang

12 6 8
                                    

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, mereka bertiga selalu pulang tepat waktu dan akan berkumpul di satu ruangan. Ruang keluarga adalah ruangan yang selalu mereka datangi, bahkan tak jarang Sagara dan Shaga memeluk Harun setiap pulang sekolah.

"Kakek!!!" Sagara dan Shaga berlari kecil ke pelukan Harun. Bagi mereka, pelukan seorang Kakek mampu mengembalikan energi yang terkuras selama jam pembelajaran.

"Selamat datang kembali cucu-cucu Kakek. Gimana sekolahnya?" tanya Harun mengelus puncak kepala mereka berdua. Tatapan pria paruh baya itu bertemu dengan Savalas, lantas melepaskan pelukannya dari Sagara dan Shaga, agar Savalas punya ruang untuk memeluknya juga.

Melihat hal itu, Savalas memeluk Harun dan hanya terdiam, masih tidak berani untuk menunjukkan rasa bahagianya saat bertemu Harun.

"Gimana kabar kalian di sekolah?" tanya Harun.

"Kita dapet nilai tinggi pas ulangan harian dibagiin, loh, Kek," jawab Shaga mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas.

Hal itu juga berlaku pada Sagara dan juga Savalas. Mereka mengeluarkan hasil ujian, sementara Shaga memberikan kertas ujian miliknya dengan memasang ekspresi wajah yang gembira.

Harun memakai kacamata miliknya dan melihat nilai yang diperoleh Shaga dalam ujian.

"Wah, 89? Itu bagus, pertahanin, ya," ucap Harun mengelus puncak kepala Shaga.

Shaga menikmati elusan Harun, pemuda itu tersenyum manis layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan mainan.

"Kalau Sagara?" Kali ini tatapan Harun tertuju pada Sagara, cucu pertamanya.

Sagara memberikan hasil ujian, membiarkan Harun melihatnya.

"Wah, cucu Kakek emang gak diragukan lagi kepintarannya. Kamu dapet nilai 97, nyaris sempurna," puji Harun kali ini mengelus kepala Sagara.

"Kakek, Kakek. Savalas paling tinggi, loh, di antara kita. Nggak, di antara sekelas malahan." Shaga menceritakan bagian Savalas dengan antusias, ia tahu Savalas pasti akan diam.

"Beneran? Mana sini, Kakek mau liat punya Savalas."

Savalas memberikan hasil ujian kepada Harun. Senyum tulus mengembang di wajahnya, lantas dengan lembut ia memuji Savalas.

"Dapet 98, ya? Bagus, bagus. Nilai kalian nyaris sempurna, dan itu patut diapresiasi. Ini ulangan harian Bahasa Indonesia, ya?" tanya Harun.

"Iya, Kek. Apalagi Savalas paling jago merangkai kata-kata puitis, pernah menang lomba bikin cerpen juga, loh. Mana udah ada yang dibukuin." Shaga menceritakan dengan antusias, tidak seperti Savalas yang hanya tersenyum canggung menanggapinya.

"Antologi cerpen, ya? Barengan sama penulis lain?" tanya Harun dengan lembut.

Savalas mengangguk ragu. "Iya."

"Bawa ke sini, Kakek mau liat," pinta Harun. "Kenapa kamu nyembunyiin karya sebagus itu dari keluarga, hm? Itu patut diapresiasi, loh. Sebuah kebanggaan bisa menerbitkan buku."

"Gak tahu, tuh, Savalas. Aku aja baru tahu waktu Savalas lagi liat layar laptop, takut Savalas maksain diri ngerjain tugas, tapi ternyata lagi nulis cerita. Dia mah gitu, Kek. Suka banget diem," sahut Shaga.

Harun terkekeh pelan. "Udah, udah. Bawa ke sini, ya? Kakek tunggu. Oh iya, sekalian aja, deh, kalian ke kamar. Ganti baju, besok seragamnya dipake lagi, loh."

Mereka bertiga mengangguk, mengganti pakaian masing-masing dan kembali turun ke bawah dengan Savalas yang membawa sebuah buku.

Harun yang sedang menonton televisi menoleh seraya memberikan senyuman, sedikit menggeser posisi untuk memberikan cucu-cucunya tempat. "Sini, sini."

Mistake [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang