Salah Sangka

798 112 14
                                    

"Hari ini terakhir saya di sini Pak?"

Pria berusia tiga puluh lima tahun itu mengangguk lemah, tidak ada pilihan lain karena sudah setengah tahun terakhir kafenya benar-benar sepi. Pengunjungnya selalu ramai tapi fakta yang menyakitkan adalah mereka hanya memesan barang seadanya, tapi bisa betah duduk berjam-jam untuk menikmati wifi gratis di kafenya. Ia merasa tidak mendapatkan keuntungan selain tagihan internet semakin naik. Sementara harga bahan pokok naik, dan harga makanan di kafenya sulit untuk ia naiki. Bisnis memang selalu pasang surut tapi ini terlalu surut bagi Wiliam sehingga ia harus menutup secara permanen.

"Maafkan saya ya, Nay. Ini pesangon kamu. Saya sudah membayar hak kamu tanpa potongan apa pun termasuk gaji bulan ini saya berikan semua." Jelasnya

"Terima kasih Pak Wiliam, harusnya bayar saja dua puluh hari sisa saya bekerja di sini." Nayara bukan memilik maksud lain, tapi ia memahami kondisi keuangan bosnya pasti tidak baik-baik saja.

"Tidak apa-apa Nay, sekalian buat jajan Mentari."

"Sekali lagi terima kasih banyak Pak. Semoga setelah ini Bapak jauh lebih sukses. Saya pamit ya, Pak. Permisi..." setelah urusannya dengan sang bos selesai, Nayara mulai meninggalkan area kafe— tempat kerjanya.

Pukul delapan malam biasanya akan pulang lebih dari jam sepuluh malam sampai rumah, ia berjalan memasuki rumahnya. Ia tinggal di sebuah perumahan yang cukup aman dan tetangganya baik-baik. Bukan perumahan mewah, dan ia tinggal di rumah yang tak terlalu besar.

"Mama...!!!"

Gadis kecil itu memanggilnya. Suara merdu yang selalu ia rindukan, ia tersenyum hangat lalu berjongkok di hadapannya.

"Mama pulang..." Ucap Nayara

"Mama tumben sekali pulang cepat?"

Nayara terkekeh. "Sudah kangen sama Mentari." Jawabnya

"Ih, Mamaaa..." Mentari tersipu malu. Karena sang mama belum mandi akhirnya gadis kecil itu mengurungkan niat untuk memeluk.

Nayara menggandeng tangan kecil itu masuk ke dalam kamarnya, ia juga mengucapkan terima kasih pada Nita— pekerjanya yang membantu menjaga Mentari selama dirinya bekerja.

"Mama lihat deh hari ini aku gambar apa?" Mentari mendekati Nayara sembari membawa selembar kertas berbentuk panjang.

Nayari memperhatikan gambar yang Mentari maksud, ada tulisan family di sana. Keluarga. Tiba-tiba ia merasa dadanya sesak, keluarga. Kata itu yang membuatnya sering kali termenung sembari bertanya kapan ia memiliki keluarga yang utuh.

"Ini Mama kan?" Tebak Nayara

Mentari mengangguk antusias. "Ini aku. Ini dokter Galih."

"Kenapa  harus ada dokter Galih, Nak?"

"Karena dokter Galih selalu baik sama aku, Mama." Jawabnya polos

Nayara terkekeh. Sebenarnya ia keberatan dokter Galih ada di selembar kertas ini. Karena ia takut pria itu tidak nyaman.

"Mama mandi dulu ya?"

"Iya, Mam.." jawabnya
Menggambar sebuah keluarga di kertas putih, hatinya lagi-lagi tersentil kenapa harus dirinya dan Mentari yang harus merasakan.

***

"Kayaknya kita butuh staf admin sosial yang baru deh, Dewi sudah mau lahiran kemungkinan minggu depan sudah mulai off kerja." Ucapnya

"Iya, kita harus buka minggu ini kan?"

Regan mengangguk. "Secepatnya saja. Saya mau balik dulu Gal."

BloomingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang