(8) Berdamai(?)

401 51 10
                                    

"--Hentikan!!" Aku mendorong tubuh Yeonjun dengan kuat. Jantungku rasanya akan keluar jika ini terus berlanjut.

Aku berusaha mengatur napasku setelah membuat jarak dengannya.

"Kenapa?" Tanyanya tersenyum miring. "Kita kan akan menikah," Lanjutnya tanpa dosa.

Dasar gila.

"Ini bukan Korea, Jun. Hamil di luar nikah bukanlah hal yang lumrah di Indonesia." Cetusku menatapnya serius.

Yeonjun mengernyit. "Kita kan bukan orang Indonesia."

"Tapi lagi di Indonesia. Sama aja. Lagian aku udah jadi warga tetap negara ini," Balasku. Secara aku ini dari kecil sudah tinggal di Indonesia.

Kutatap Yeonjun yang terlihat berpikir. Kamarnya yang gelap ini bahkan tidak menutupi ketampanan wajahnya...

"Jadi kalau tidak hamil, tidak masalah kan?" Tanyanya menyimpulkan. "Lagipula kalau kau hamil kan tinggal pindah negara saja."

Kutarik kembali seluruh ucapanku tadi. Iblis ini sama sekali tidak tampan!

"Lupakan. Aku mau tidur!" Geramku langsung berbalik membelakanginya.

Kudengar ia terkekeh.

"Shhh.. Aku hanya bercanda." Kekehnya langsung memelukku dari belakang.

Astaga... Dada bidangnya menyentuh punggungku, aneh rasanya....

"Jangan kira aku bakal berubah pikiran kalau kamu kayak gini!!" Gerutuku.

Yeonjun mencium lembut leherku. "Jangan anggap serius semua ucapanku tadi." Katanya dengan nada memelas.

Badanku rasanya merinding. Lebih baik dia bersikap seperti biasanya dengan menyakitiku daripada seperti ini.

Lagipula ada apa dengan dirinya?!

Kadang dia bertingkah sebagai musuhku, lalu tiba-tiba bertingkah seakan-akan aku ini kekasihnya.

Namun tak bisa kupungkri, tubuhku ini selalu merespon semua sentuhannya dengan cara yang aneh...

"Jun, jujur deh. Kamu kenapa malam ini?" Tanyaku jelas merasa ada yang beda dengannya. "Abis dimarahin aunty Jen ya?"

Dapat kurasakan deru napasnya menyentuh leherku. "Hubungan kita mengingatkanku pada ayahku."

Rona merah terkuras di wajahku. Hubungan??? Emangnya ada apa di antara ku dan dia?

Biasanya, aku selalu merasa tak nyaman jika ada laki-laki yang menyentuhku. Tapi dengan Yeonjun... aku tak selalu merasa begitu.

Justru hal itu yang membuatku jengkel.

"Yeonjun, lepas." Pintaku langsung. "Aku mau tidur."

Alih-alih melepas, ia mengeratkan pelukannya. Pelukan yang nyaman ini.. datang dari orang yang paling kubenci.

Sebuah kalimat terlintas di pikiranku. Disini aku yang gila karena merasa nyaman dengan musuhku.

"Yeonjun, seandaikan pertemuan pertama kita, aku tidak menyakiti perasaanmu... Apakah mungkin kita tidak saling membenci begini..?" Tanyaku dengan suara kecil.

Jujur saja aku tak tahu keberanian apa yang mendorongku untuk menanyakan pertanyaan ini.

Aku merasa semua ini berawal karena salahku. Apa Yeonjun benar-benar membenciku karena ucapanku 9 tahun silam?

"Aku harap suatu hari nanti kita tidak saling menyakiti begini..." Gumamku pelan.

Karena tak kunjung ada respon darinya, aku melepas paksa tangannya yang mengait tubuhku. "Kamu denger gak sih?!" Kesalku berbalik kearahnya kembali.

Wajahnya terlihat murung-- atau lebih tepatnya sedih. Matanya yang selama ini menajam kearahku mulai terlihat sayu.

"Yeonj--

"Maafkan aku." Ucapnya tiba-tiba. "Pharita.. Maafkan aku... ... Maafkan aku, Pharita." Yeonjun terus menggumamkan kata maaf padaku.

Bibirku terkatup rapat. Tidak tau harus mengatakan apa.

Dengan sekali tarikan, ia kembali menarikku ke pelukannya. Jantungku berpacu cepat. Bukan karena pelukannya. Tapi karena permintaan maaf darinya.

Ini adalah pertama kalinya Yeonjun mengucapkan kata maaf.

Dapat kurasakan tubuhnya yang sedikit bergetar. Apa dia menangis...?

Yeonjun membenamkan wajahnya di ceruk leherku. Kali ini tubuhku ikut bergetar karenanya. "Y-yeonjun..?" Gugupku berusaha menyingkirkan kepalanya.

Wajah tampannya semakin ia tenggelamkan di ceruk leherku. Dia juga semakin mengeratkan pelukannya seakan tidak ingin aku terlepas dari jeratannya.

Pelan namun pasti, kudengar isakan keluar dari mulutnya.

Tanganku terangkat untuk mengelus punggungnya. "Shhh... nggapapa.."

Isak tangisnya kian terdengar lebih keras. Kenapa malam ini dia menjadi cengeng begini..?

Sebenarnya ada apa dengan malam ini!!

Lagi dan lagi, aku terus mengusap tangannya yang melingkar di pinggangku dengan posesif. Perlahan, aku mulai membalas pelukannya, mencoba menyalurkan rasa nyaman untuk menenangkan Yeonjun yang sepertinya sedang gelisah.

"Aku ... aku tidak pernah memikirkan perasaanmu. Aku selalu menyakitimu. Seperti yang ayahku lakukan pada Ibuku." Sesalnya dengan suara bergetar.

Aku mendengarkannya dalam diam. Tubuhnya juga masih bergetar. Tanganku tak berhenti untuk mengelus punggungnya.

"...Apa kamu menyesalinya, Jun?" Tanyaku mengulang pertanyaan sore tadi. Apa kali ini dia tidak akan menjawab juga..?

Butuh waktu beberapa detik sampai ia menjawab, "Aku menyesal..." Lirihnya mulai meletakkan kepalanya diatas pundakku.

Hanya itu yang kubutuhkan. Mengetahui bahwa dia menyesali perbuatannya. Aku tersenyum dengan air mata yang mulai mengalir.

Aku memaafkanmu, Yeonjun...

Berusaha menyembunyikan rasa terharu, aku kembali bertanya padanya, "Memangnya apa yang kamu sesali?" Tanyaku berhenti mengelus punggungnya. Mengabaikan kondisi Yeonjun yang semakin menyesali dirinya.

"Semua .... aku menyesali semua perbuatanku padamu. Seharusnya aku tidak memotong rambutmu, karena aku telingamu tersayat... Aku bahkan mendorongmu ke kolam renang tanpa tau kau bisa berenang apa tidak.. Dan seharusnya aku tidak merusak laptopmu, dan tidak menjebakmu di kamar Ibuku..." Sesalnya mengakui semuanya.

Aku merasakan bahuku basah. Seberapa banyak dia menangis... Yeonjun benar-benar menyesali seluruh perbuatannya. Aku tidak sanggup melihatnya seperti ini terus..

Vote and komennya jangan lupa <3

Senior Zink [ yeonjun x pharita ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang