07

808 47 2
                                    

Tubuh Arga mematung merasakan bibir kenyal Anca mendarat di pipinya. Tangannya mencengkram stir mobil dan nafasnya tertahan. Ciuman Anca di pipinya singkat, bahkan tidak ada lima detik tapi rasanya ia akan terbang.

Anca menundukkan kepalanya setelah itu. "Dah, ayok pulang."

"Lo kira gue bisa nyetir dengan jantung gue yang kayak gini?"

Anca menggigiti seatbelt mobil, belum berani menatap Arga yang sepertinya tengah menatapnya. "Ya udah, tunggu dulu," cicit Anca pelan.

"Ini hukuman lo atau hukuman gue sih?" gumam Arga sambil menatap gadis yang tengah menunduk itu.

Anca yang mendengar itu langsung menatap Arga dengan perasaan bersalah. "Gue salah ya? Maaf, Ar."

Arga menggigit bibir bawahnya, gemas dengan gadis ini. Sungguh, rasanya Arga akan menggigit pipi Anca yang memerah itu. "Boleh tolong liat gue, cantik? Liat mata gue."

"Enggak mau kalau sekarang, lo mau marahin gue ya?"

Tangan Arga dengan lembut menangkup wajah Anca, dengan telunjuk kanannya ia menaikkan dagu Anca. "Siapa sih yang mau marahin tomat lucu kayak lo? Gue cuma mau bales hukuman lo aja. Boleh?"

"Gimana?"

Arga mendekatkan wajahnya dengan Anca dan mengecup ujung hidung Anca. "Gitu, biar adil bukan cuma jantung gue yang detaknya gak normal," ucap Arga sambil menjauhkan wajahnya.

Tubuh Anca yang sekarang ganti menegang. Tatapan gadis itu menatap gerakan pemuda di depannya dengan seksama. Tangan Arga bahkan masih terasa hangat di pipinya. Anca menatap netra Arga. "Ar ...."

"Hmm?"

"Gue kayaknya ada-"

"Gak boleh ngucapin itu, biar gue aja." Arga menghela nafas panjang, ini harus sekarang banget? Tapi tidak mungkin Anca yang mengatakan itu duluan. Jemarinya dengan halus mengelus pipi Anca dan ia kembali mendekatkan wajahnya. "I'm fallen in love with you."

Nafas Anca tercekat, ia menatap tidak percaya dan mencoba menyelami netra teduh milik Arga. Tangannya meremas tali slingbag yang masih ia pakai. Pengakuan ini nyatanya terlalu mengagetkan walaupun memang sebelumnya Anca ingin mengatakan hal yang sama.

Tidak ada respon dari gadis di depannya membuat Arga tersenyum. "It's okay if you're still shocked for now, but from now, I'll probably say that over and over, and I will wait for you until you say that you want to be my girlfriend."

Arga mengacak rambut Anca gemas saat belum mendapat respon juga dari gadis itu. Ia menepuk lembut pucuk kepala Arga. "Dah gak usah dipikirin."

"Emm Ar."

"Yes."

Dengan wajah memerahnya Anca menatap Arga. Ia menusuk-nusuk dengan jari telunjuknya lengan Arga. Anca menggigit bibir bawahnya, ia masih malu untuk mengatakannya.

Arga melepas bibir itu dari gigitan Anca. "Kalau belum mau jawab gak papa."

"Hai pacar."

--------------------------------

Davina dan Yuda menatap bingung ke arah dua remaja yang baru saja memasuki rumah itu. Biasanya saat pulang, suara tawa keduanya terdengar, ini hanya diam dan Anca berjalan cepat duluan ke kamarnya.

"Marahan?"

Yuda menggidikkan bahunya mendengar itu. "Ar! Kambing!"

Arga memejamkan matanya, ia menoleh dan menyengir. "Kenapa camer?"

"Kenapa an- eh! Panggil apa barusan?" tanya Yuda heboh.

"Camer, om. Izin ya, hehe."

"Duduk dulu sini."

ANCAARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang