23

801 56 0
                                    

Satu semester sudah berlalu dan memasuki semester dua ini membuat Arga sering mengeluh yang membuat Anca ingin menjambak rambut kekasihnya itu. Seperti sekarang, lihatlah kelakuan Arga yang sedang merengek manja diperut Anca.

"Butuh asupan nutrisi kalau gini."

"Mau apaan gue beliin."

"Mau lo."

"Gue bunuh lo."

Arga menggoyang-goyangkan kaki Anca. "Lo masakin aja boleh?"

"Mama lo dah masak, Arga."

"Gak ada salahnya lo masak, cantik."

"Masak apa?"

"Masak apa aja."

"Gak ada ide kayak gitu. Kasih yang pasti."

"Brownis."

Anca menggaruk kepalanya. "Ada bahan?"

"Gak tau. Bentar."

Arga yang sepertinya sedang mencari sesuatu membuat Anca bertanya, "Nyari apa?"

"HP."

"Kan lo buang."

"Hah?"

Anca menunjuk benda persegi panjang yang tergeletak di belakang pintu kamar Arga. Entahlah, sekarang benda itu bentuknya seperti apa.

"Gue di suruh beli baru kali, ya?" Arga berkata sambil berjalan mengambil ponselnya.

"Gue sekalian," jawab Anca bercanda.

"Boleh, mau warna apa?"

Anca melempar bantal ke pemuda yang mengatakan itu tanpa beban. "Kambing! Enteng banget lo ngomongnya."

"Cafe baru gue laris kok."

Anca menghela nafasnya, benar sih, tapi ya gak gitu juga. Arga memang sudah membuka usaha cafe sejak kekasihnya itu lulus SMA. Dan sekarang yang baru di buka ini sudah cafe ketiga. Wajar, Arga anak orang yang memang sudah kaya sejak plasenta nya. Papa Arga yang polisi awalnya memang sudah anak orang kayak duluan, makanya sekarang pemuda itu seperti tidak ada beban dalam mengeluarkan duit.

"Mau bener? Kalau mau ayo kita pergi."

Anca sekarang yang merengek. "Enggak Arga ... gue tadi cuma bercanda."

Arga mengangguk. Ia kembali lagi tidur di pangkuan Anca. "Mbak, bahan untuk buat brownis masih ada?"

Anca mengelus rambut Arga dengan halus. Arga mengambil tangan Anca lalu di bawanya menuju bibirnya. Ia kecup beberapa kali sambil mendengarkan telepon asisten rumah tangganya. "Oh, habis, ya? Boleh tolong beliin dulu gak? Anca mau buat brownis."

"Oke, makasih, mbak. Kalau udah ada nanti ke kamar aja."

Arga mengecupi perut Anca, bayangannya terlalu tinggi sepertinya karena sudah membayangkan ada Arga junior di dalam sana. Padahal isi perut gadisnya hanya seblak, bakso, udon, samyang. Nanam benih saja belum pernah, bisa-bisanya Arga membayangkan ada Arga junior.

Tangan Arga menyusup, ikut masuk ke dalam kaos Anca dari belakang. Dengan iseng pemuda itu malah menarik tali bra Anca yang membuat ia mendapatkan tepukan keras di bahunya.

"Tangannya Arga."

"Dikit aja, sayang."

"Dikit."

Arga mengangguk, kepalanya semakin naik dan sekarang sudah berada tepat di bawah dua bulatan kenyal Anca. Ia menghirup aroma di sana dan mengecupinya. "Mau."

"Arga ...."

Arga tersenyum, tangannya di belakang melepas kaitan bra Anca. Ia berteriak senang di dalam hati saat bagian bawah bra Anca sudah melonggar. Arga menarik-narik itu. "Boleh, ya, sayang?"

ANCAARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang