29

1K 59 5
                                    

Anca entah sudah menghela nafas panjang yang ke berapa kali hari ini. Semua aktivitasnya ternyata terlalu asing untuk ia lakukan sendiri. Biasanya, saat menginginkan sesuatu, Arga pasti langsung memberikannya. Saat Anca butuh bantuan, Arga pasti akan langsung datang. Dan mungkin, Anca tidak akan sering untuk menyentuh setir dan pintu mobil. Masih tiga hari, ya, tiga hari asing dengan Arga karena kesalahan yang ia buat sendiri. Tidak ada chat, salam, ataupun segala sesuatu yang yang manis yang biasa Arga berikan.

Anca menyenderkan keningnya di atas setir, air matanya turun. Ia masih terlalu malu untuk menghubungi Arga padahal kangennya sudah menggila di dalam sana. Dan ia tidak mungkin mengharapkan Arga untuk menghubunginya duluan, karena ia tau Arga terlalu kecewa dengan dirinya.

Tiga hari rasanya sudah seperti sebulan saat tidak ada Arga. Pertanyaan dahulu yang ia tanyakan kepada dirinya sendiri bagaimana kalau tanpa Arga, sudah terjawab sejak tiga hari yang lalu, harinya terlalu sepi dan hambar. Ia hanya bisa melihat aktivitas Arga lewat story yang dibagikan kekasihnya itu lewat whatsapps, dan untungnya Arga melakukan itu, kalau tidak mungkin Anca tidak tau akan seperti apa. Dirinya terlalu jatuh kepada Arga dan sayangnya dirinya juga yang menjatuhkan ekspektasi Arga.

Sebenarnya ia hanya butuh waktu satu hari untuk sadar akan kesalahannya yang ia buat sendiri, tapi butuh waktu entah berapa hari untuk ia memulihkan dirinya agar ia tidak terlalu malu berhadapan dengan Arga. Rasanya tangannya gatal, entah sudah berapa banyak chat yang ia hapus padahal sudah ia ketik di room chat dengan Arga. Dan entah sudah berapa kata maaf keluar dari bibirnya entah untuk dirinya sendiri, kedua orang tuanya, ataupun Arga.

Anca menghapus air matanya dan mulai mengendalikan dirinya lagi. Ia akan pulang untuk sekarang dan akan tidur. Tapi, sepertinya memang alam mengtakdirkannya dengan Arga karena di dalam mimpi pun masih ada Arga.

Anca menjalankan mobilnya keluar dari parkiran kampus, tapi saat melewati beberapa mobil, Anca terhenti saat melihat mobil Arga terparkir rapi di sana. Honda civic hitam yang sudah Anca hafal plat nomernya di luar kepala itu membuat air mata Anca keluar lagi.

"Arga ... kangen."

Dilain sisi Arga menyandarkan tubuhnya di dinding dekat parkiran. Ia baru saja akan membuka kunci mobilnya, tapi gerakannya terhenti karena di depan mobilnya terlihat mobil Anca yang terdiam dengan mesin yang menyala. Arga yakin, gadisnya pasti ada di dalam mobil dan menangis. Membuang tangkai permen yang sedari tadi ia emut, Arga menghela nafas panjang. Mengenal Anca sejak gadis itu kecil membuat Arga tau kebiasaan gadis itu. Entah Arga yang memang sedari kecil bucin kepada Anca, atau memang secara tidak sengaja memori Arga selalu mengingat hal kecil tentang gadis yang sudah 20 tahun itu.

Anca itu cengeng, dan Arga yakin gadisnya itu akan selalu menangis saat mereka berjauhan seperti sekarang. Sebenarnya tidak tega mengingat dan membayangkan tangisan Anca, tapi ini biar menjadi pelajaran untuk gadisnya. Bukan hanya Anca yang bisa memberikan pelajaran untuk Arga, tetapi Arga juga bisa memberikan itu. Bukannya dirinya tega, tapi kalau Anca tidak di diamkan seperti ini, gadisnya tidak akan paham.

"Kok masih di sini, Ga?"

"Enak aja nyandar di sini."

Aro terkekeh mendengar jawaban Arga. "Mau mojok sama mbak kun lo?"

"Sama mbah genderuwo sih."

"Di datangin beneran kabur lo. Kenapa? Ada yang ketinggalan? Perasaan gue di kelas gak ada apa-apa yang ketinggalan."

Arga menggeleng, tatapannya tetap menatap mobil Anca yang masih terdiam di sana. "Enggak, gue beneran cuma pengen nyender di sini."

Melihat tatapan Arga, Aroo mengikutinya. "Oh, mobil itu ngalangin mobil lo? Panggil security aja."

ANCAARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang