2. SML

736 13 1
                                    


Satu minggu kemudian.

Acara pernikahan Rendi dan Lia diadakan secara sederhana. Mereka hanya mengadakan akad di rumah. Lalu mengundang kerabat terdekat dan makan-makan di sana.

"Ini kamarmu!"

Dewa membuka pintu kamar yang ada di depan kamarnya. Kamar yang ada di lantai dua rumahnya. Sekaligus kamar yang baru saja dicat ulang kemarin malam bersama dua teman baiknya. Atas suruhan ibunya.

Niana tidak mengatakan apapun. Dia langsung masuk dan menarik koper hitam lusuh yang berdebu. Karena sebelumnya dia tinggal di toko bangunan yang tentu tidak akan jauh-jauh dari debu.

"Dasar tidak tahu terima kasih!"

Gerutu Dewa yang mulai meninggalkan Niana. Dia kembali ke lantai dasar. Karena ingin membantu ibunya bersih-bersih rumah. Sebab para tamu sudah pulang semua. Menyisahkan mereka berempat saja.

"Perlu bantuan apa, Ma?"

Tanya Dewa yang sudah tiba di lantai dasar. Dia melihat ibunya sedang memungut plastik minuman. Sedangkan ayah tirinya tengah melipat karpet sendirian. Dengan susah payah karena terlalu besar. Namun akhirnya berhasil juga.

"Tinggal nyapu dan ngepel saja. Kamu bawakan kardus itu ke kamar Niana. Tinggal itu saja. Setelah ini kamu bisa istirahat. Kita sudah selesai semua."

Dewa mengangguk singkat. Setelah menatap Rendi yang tengah memegang sapu sekarang. Sedangkan ibunya mulai menyiapkan alat pel di belakang.

"Oke!"

Dewa mengangkat kardus berukuran sedang yang berisi buku-buku Niana. Karena gadis itu suka membaca. Bukan buku pelajaran, namun novel romansa. Sebab Dewa sempat mengintip apa yang ada di dalam.

"Ada apa?"

Tanya Dewa yang baru saja masuk kamar. Dia meletakkan kardus ini di samping meja belajar. Karena dia menatap Niana yang tampak kebingungan saat keluar dari kamar mandi kamar.

"Sebelum ada aku, kamar ini ada yang pakai, ya?"

"Tidak ada. Kenapa memang?"

"Kok ada sikat gigi dan handuk juga di dalam. Aku kira punya orang."

"Punyamu semua. Handuk dan sikat giginya baru. Kamu tidak mencium sesuatu?"

"Cat baru?"

"Yep! Aku yang cat kamar ini dengan teman-temanku!"

Niana menyunggingkan senyuman. Dia senang karena memiliki kamar yang jauh lebih indah daripada kamar-kamar yang dimiliki sebelumnya. Kamar yang memiliki tembok warna putih tulang. Serta jendela besar yang menghadap jalan. Tidak lupa dengan kamar mandi dalam yang akan semakin mempermudah hidupnya.

"Nice!"

Dewa membalikkan badan. Karena dia enggan berbasa-basi dengan Niana sekarang. Sebab sebenarnya, dia masih belum bisa menerima ini semua.

Setelah mandi, Dewa langsung rebahan. Dia meraih ponsel yang sedang diisi daya. Lalu berniat dimainkan sebentar sebelum terlelap.

Ceklek...

Pintu kamar terbuka. Lia datang sembari membawa selimut untuk si anak. Sebab semalam dipakai tidur saudara di kamarnya.

"Mama, ih! Bikin kaget saja! Ketuk dulu!"

"Sorry ...."

Lia meletakkan selimut di atas ranjang. Lalu menatap Dewa yang masih fokus dengan ponselnya. Enggan menatap dirinya.

"Besok berangkat sekolah dengan Niana, ya? Dia masih belum bisa naik motor."

"Kan ada Papanya, Ma! Memangnya suami Mama tidak ke toko apa?"

"Papa libur satu hari lagi. Besok mau antar Mama belanja di pasar besar. Seharian. Sekalian mau belikan Niana sepeda juga. Sehari saja. Mau, ya? Besok lusa Niana akan naik sepeda sendiri ke sekolah."

"Janji sehari saja?"

"Iya, Sayang ...."

"Ya sudah!"

Lia tampak senang. Lalu mengucap terima kasih pada anaknya. Baru kemudian keluar kamar. Meninggalkan si anak sendirian.

Tbc...

SEGELAP MENDUNG LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang