10. SML

546 10 0
                                    


Sepulangnya dari puncak, Niana demam. Mungkin karena tidak terbiasa terkena angin malam. Sebab selama ini dia selalu berada di kamar setiap malam. Namun tiba-tiba saja harus ke puncak bersama Dewa dan teman-temannya selama tiga hari dua malam.

"Hampir tiga puluh delapan, Ma. Bagaimana? Aku bawa ke rumah sakit sekarang?"

Tanya Dewa pada Lia. Karena wanita itu masih berada di luar kota bersama suaminya. guna menjenguk saudara yang sakit parah.

Iya, Nak. Takutnya parah.

"Tidak mau! Aku tidak mau ke rumah sakit!"

"Mama dengar sendiri, kan? Tidak mau dia. Bagaimana ini? Aku angkat saja apa, ya?"

"Kak Dewaaa!"

Hush! Nanti nangis adikmu. Kalau begitu Mama panggil saja dokter ke rumah. Nanti bukakkan pintu, ya? Coba berikan telepon pada Niana.

"Ini sudah aku loudspeaker."

Niana?

"Iya, Ma?"

Sabar, ya, Sayang? Sebentar lagi dokter datang. Kamu minum yang banyak dan makan bubur buatan Kak Dewa dulu. Supaya tidak perlu diinfus.

"Aku diinfus saja, Ma. Aku tidak bisa makan. Bubur buatan Kak Dewa pasti tidak enak!"

"Enak saja! Coba nih! Enak!"

Lia terkekeh di seberang sana. Dia merasa senang. Karena anak kandung dan sambungnya bisa akur sekarang. Mengingat sebelumnya, mereka masih agak kurang nyaman jika berdekatan.

Ya sudah, tidak apa-apa. Niana pengen makan apa? Supaya Kak Dewa belikan saja.

"Mie ayam, Ma."

"Ya bahaya! Mama dengar, kan? Mana Papa? Biar Papa tahu kelakuan nakal anaknya!"

Hahahaha. Papa sedang mandi. Besok sore kami baru pulang. Niana, pengen makan mie ayamnya ditahan dulu, ya? Jangan makan yang aneh-aneh dulu sekarang. Kalau sudah sembuh, kita sekeluarga makan mie ayam. Kamu boleh makan sepuasnya!

"Iya, deh, Ma."

Pintar! Kalau begitu Mama matikan sekarang. Mama sudah kabari teman untuk datang. Bawa infusan juga. Dewa, kamu jangan kelayapan! Jaga adiknya!

"Iya Mama!"

Dewa mulai mematikan panggilan. Kemudian mengantongi ponselnya. Sebelum akhirnya berkacak pinggang di depan adiknya.

"Kamu dengar sendiri, kan? Makanya makan! Enak buburnya. Sedikit saja. Kamu ini belum coba kok sudah bilang tidak enak!"

Dewa akhirnya memaksa Niana makan buburnya. Meski hanya sedikit saja. Sebab gadis itu seharian tidak makan.

Hingga tidak lama kemudian dokter yang merupakan teman Lia datang. Memeriksa dan memasang infus untuk Niana. Dia juga memberikan resep yang harus ditebus Dewa sekarang.

"Aku mau tebus obat sebentar. Ini tidak akan lama."

Dewa memakai jaket di depan Niana. Setelah mengantar dokter keluar rumah. Sebab saat ini dia akan ke apotek terdekat guna menembus obat.

"Jangan lama-lama pokoknya!"

"Iya-iya. Kalau butuh apa-apa telepon saja."

Niana mengangguk singkat. Lalu memejamkan mata. Berusaha tidur meski sebenarnya tidak bisa. Sebab kepalanya masih terasa pusing sekarang.

Sedangkan Dewa mulai keluar rumah. Dia naik motor menuju apotek terdekat. Namun saat tiba di sana antrean cukup panjang. Hingga dia butuh waktu agak lama untuk sampai rumah.

"Sial! Mati lampu sepertinya!"

Maki Dewa saat melewati gang dekat rumah. Karena di sana gelap semua. Lampu jalan juga tidak menyala. Sehingga dia agak kesulitan mengenali mana rumahnya.

Hingga beberapa menit kemudian Dewa tiba di depan rumah. Dia segera masuk dan tidak lupa mengunci pintu dari dalam juga. Karena takut ada maling datang.

"Nin? Nina? Aku pulang. Kamu tidak takut, kan?"

Dewa mendekatkan senter ponsel pada wajah Niana. Gadis itu sudah duduk di atas ranjang. Sembari menangis sekarang. Karena dia ketakutan. Apalagi ponselnya mati karena kehabisan daya.

"Kenapa aku ditinggal lama?"

Dewa yang melihat Niana menangis tentu langsung memeluknya. Dia mendekap adik tirinya erat-erat. Namun ada perasaan aneh dalam dirinya. Membuatnya mulai menjauhkan badan dan membuat hidung mereka bersentuhan tanpa disengaja. Karena mati lampu juga. Sehingga dia kurang bisa menjaga jarak.

"Niana!"

Tegur Dewa saat Niana mulai mengecup bibirnya. Membuat pria itu menegang. Dia bahkan mulai meremas kresek obat yang digenggam. Karena bingung dengan perasaannya sekarang.

"Jangan tinggalkan aku lagi, Kak!"

Listrik menyala. Dewa dapat melihat wajah Niana yang merah tepat berada di depannya. Entah karena malu atau karena suhu tubuh yang meningkat.

"Aku di sini, jangan nangis lagi!"

Dewa menyeka air mata Niana. Dia juga mulai mendekatkan wajah. Guna memulai lumatan. Dia memagut bibir bawah adiknya. Lalu digiit pelan sebelum akhirnya disesap dalam-dalam.

Untuk kelanjutan scene ini bisa kalian baca di karyakarsa. Kalian bisa masuk di profil akun wattpad ini, lalu kunjungi link yang tertera di bio profil. Terima kasih.

Tbc...

SEGELAP MENDUNG LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang