27. SML

200 5 0
                                    

Niana sedang duduk dengan Ian di gazebo taman setelah makan malam. Sebab tamu yang sebelumnya Dewi sebutkan adalah Ian. Karena mereka tentu saling kenal. Sebenarnya Jonas dan Risa diundang juga. Namun mereka tidak bisa datang. Karena ada acara lain sekarang.

"Kak Ian keren, ya? Berani berbisnis di usia muda. Orang tua Kak Ian pasti bangga."

Puji Niana pada Ian. Karena kehidupan Ian dibahas saat acara makan. Dewi yang memulainya, sedangkan Ian hanya mengkonfirmasi saja.

"Semoga saja, ya? Karena dulu mereka mati-matian menentang. Aku sempat kabur dari rumah juga karena tidak mau lanjut kuliah. Menjual motor dan kupakai untuk menyewa ruko di tengah kota."

"Wah. Berarti cukup panjang juga, ya? Coba ceritakan secara singkat perjalanan kakak membangun restoran! Sepertinya aku butuh insight lebih banyak supaya bisa menentukan mau melakukan apa nantinya."

Ian mengangguk singkat. Lalu bercerita dari awal hingga akhir proses pembuatan restoran  nusantara yang kini sudah memiliki tiga cabang di kota mereka. Membuat Niana terus membuka mulut karena terkesan. Sebab tidak menyangka jika teman kakaknya ada yang keren seperti Ian.

"—seperti itu. Kalau dipikir-pikir, ini semua berawal dari kekesalanku pada orang tua. Karena mereka memaksa aku masuk jurusan yang tidak aku suka. Jadinya aku kabur dari rumah dan—yah, datanglah ide buat rumah makan. Karena saat itu aku kenal banyak orang. Salah satunya ada yang pintar masak. Mau seterbatas apapun uangnya, dia pasti bisa memasak makan enak. Jadilah ide itu datang. Aku berikan modal untuk membuat warung makan. Lalu kita kerjakan sama-sama sampai sekarang."

"Wah ... keren, Kak! Jadi bukan Kakak yang masak? Aku kira Kakak yang masak."

"Bukan, hanya temanku yang masak. Dia jualan nasi goreng gerobak awalnya. Lalu lama-lama kita merekrut orang dan boom! Jadilah seperti sekarang."

Niana tersenyum lebar dan bertepuk tangan. Dia terus mengintrogasi Ian hingga tidak memberi kesempatan pria itu untuk bertanya tentang dirinya. Sebab dia memang tidak nyaman jika ditanya-tanya sekarang.

"Sudah malam, nih! Mau sampai kapan kalian di sini?"

Tanya Dewa yang tiba-tiba mendekat. Membuat perbincangan Niana dan Ian selesai begitu saja. Padahal masih seru sebenarnya.

"Iya, nih. Sudah jam sembilan saja. Aku mau pamit pulang sekalian. Ini! Simpan nomorku, kamu bisa menghubungi aku jika ingin mengunjungi restoran."

Nina mencatat nomor Ian di ponselnya. Lalu sama-sama masuk rumah. Guna berpamitan pada semua orang yang sedang berkumpul di ruang keluarga.

"Seneng kamu ketemu Ian?"

Tanya Dewa setelah mobil Ian hilang dari pandangan. Sebab mereka yang mengantar Ian sampai gerbang. Karena Dewi dan yang lain masih menonton di ruang keluarga.

"Kok aku, sih, kak? kan Kak Ian teman kakak. Seharusnya Kakak yang senang karena bertemu teman lama."

"Kamu tahu apa maksud Dewi membawa Ian datang? Dia ingin menjodohkan kalian! Sampai ngobrol berduaan, simpan nomornya pula. Kamu sengaja membuat aku cemburu atau memang sudah suka dia sekarang?"

Niana yang baru sadar kalau Dewa cemburu kini hanya bisa meminta maaf. Karena dia tidak sadar. Mengingat dia hanya menuruti permintaan Dewi agar dirinya mau menemani Ian di gazebo taman. Karena Dewa sedang ada meeting online setelah makan malam. Sedangkan dia dan orang tuanya akan menonton sinetron kesukaan bersama.

"Maaf, Kak. Aku tidak bermaksud seperti itu. Kakak bisa hapus nomor Kak Ian dari Hpku kalau begitu. "

Nina memberikan ponselnya. Dewa juga langsung meraihnya. Lalu menghapus nomor Ian saat itu juga. Sebab dia tidak ingin merasa tersaingi sekarang.

"Maaf, ya, Kak?"

Dewa mengembalikan ponsel Niana. Lalu menarik tangan si adik menuju garasi rumah. Karena di sana ada ruangan kosong yang biasa mereka pakai untuk bermesraan di rumah.

Tbc...

SEGELAP MENDUNG LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang