Di suatu pagi yang cerah, suasana di sekolah tampak seperti biasa. Namun, di salah satu sudut lapangan, sekelompok siswa sedang mengerumuni seorang anak yang terlihat ketakutan. Venesya dan Syifa yang sedang berjalan menuju kelas melihat kejadian tersebut dan segera mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Sial, uang jajanmu mana?" teriak seorang siswa yang lebih besar kepada anak yang tampak ketakutan itu.
Anak itu, yang dikenal sebagai Argon, hanya bisa menggeleng dengan takut. "Aku tidak punya uang lebih hari ini," jawabnya dengan suara gemetar.
Melihat kejadian ini, Venesya dan Syifa merasa tidak bisa tinggal diam. Mereka mendekati kerumunan dan mencoba menghentikan tindakan pemalakan tersebut.
"Hei, hentikan! Apa yang kalian lakukan itu salah!" seru Venesya dengan suara tegas.
Siswa-siswa pemalak itu menoleh ke arah Venesya dan Syifa, terlihat tidak senang dengan intervensi mereka. "Kamu mau ikut campur? Ini bukan urusanmu," kata salah satu dari mereka dengan nada mengancam.
Syifa berdiri di samping Venesya, mencoba menenangkan situasi. "Apa yang kalian lakukan adalah tindakan yang tidak adil. Kalian tidak punya hak untuk mengambil uang dari Argon."
Mereka akhirnya pergi dengan enggan, meninggalkan Argon yang tampak sangat lega. Venesya dan Syifa membantu Argon berdiri dan memastikan dia baik-baik saja.
"Terima kasih banyak, kalian berdua," kata Argon dengan suara lirih. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kalian tidak datang."
"Kita tidak bisa membiarkan hal seperti ini terus terjadi," kata Syifa dengan tegas. "Kita harus melaporkan ini kepada guru."
Namun, ketika mereka membawa Argon ke kantor guru dan menceritakan kejadian tersebut, mereka tidak mendapatkan respon yang diharapkan. Beberapa guru terlihat skeptis dan tidak memberikan tindakan tegas terhadap para pemalak.
"Apakah ada saksi lain yang bisa mendukung cerita ini?" tanya salah satu guru dengan nada ragu.
Venesya merasa kecewa dengan sikap guru tersebut. "Ini bukan tentang mencari saksi lain. Ini tentang keadilan bagi Argon. Kita tidak bisa membiarkan tindakan seperti ini berlalu begitu saja."
Setelah berbicara dengan guru, Venesya dan Syifa kembali ke kelas mereka. Sayangnya, teman-teman sekelas mereka juga tidak terlalu mendukung perjuangan mereka. Beberapa bahkan mengejek Argon dan mengatakan bahwa dia hanya membuat masalah.
"Kalian harus berhati-hati. Mereka bisa saja merundung kalian juga," kata salah satu teman sekelas mereka dengan nada khawatir.
Meskipun merasa takut, Venesya dan Syifa bertekad untuk memperjuangkan keadilan bagi Argon. Mereka berbicara dengan Argon dan mengajaknya untuk berbicara lebih lanjut tentang kejadian tersebut di Pojok Berpikir, sebuah tempat yang mereka anggap aman untuk diskusi.
Di Pojok Berpikir, Venesya, Syifa, dan Argon duduk bersama. Venesya membuka pembicaraan dengan mengatakan, "Keadilan adalah hak setiap orang. Kita tidak boleh membiarkan ketidakadilan terjadi, meskipun itu berarti kita harus menghadapi risiko."
Syifa menambahkan, "Dalam filsafat, keadilan adalah salah satu nilai tertinggi. Kita harus berani memperjuangkan keadilan, bahkan jika itu berarti kita harus menghadapi ancaman. Kita tidak bisa membiarkan ketidakadilan terjadi di depan mata kita."
Argon yang awalnya tampak ragu mulai merasa lebih berani. "Kalian benar. Aku tidak ingin terus hidup dalam ketakutan. Aku akan berusaha untuk berbicara lebih banyak tentang apa yang terjadi, dan aku berterima kasih karena kalian berdua mendukungku."
Di saat yang sama, Yasmin dan Dista, yang merupakan ketua dan wakil ketua Pojok Berpikir, datang dan mendengar percakapan tersebut. Yasmin berkata, "Kami akan mendukung kalian. Pojok Berpikir selalu berdiri untuk keadilan dan kebenaran. Kita akan mencari cara untuk menyampaikan ini kepada pihak sekolah dengan lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Philosopher : Next Generation
Teen FictionVenesya, seorang gadis remaja berusia 11 tahun, pindah dari kota romantis Venesia, Italia ke sebuah kota kecil di Indonesia karena pekerjaan ayahnya. Awalnya, Venesya merasa canggung dan kesulitan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan barunya. Na...