Pagi itu, sekolah tampak seperti biasanya. Murid-murid berdatangan dengan semangat, menyambut hari baru. Namun, suasana segera berubah saat bel pertama berbunyi. Semua siswa sudah berada di kelas masing-masing, kecuali satu murid yang tampak berlari tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Anak itu adalah Rion, seorang murid yang dikenal baik hati dan suka menolong.
Saat Rion tiba di kelas, guru kelasnya, sudah berada di depan kelas. "Kenapa kamu terlambat, Rion?" tanya Pak Faisal dengan nada tegas.
Rion dengan napas terengah-engah menjawab, "Saya tadi menolong seorang nenek yang terjatuh, Pak. Saya membantu beliau sampai bisa berdiri dan berjalan lagi."
Guru Kelasnya mengernyitkan dahi. "Alasan seperti itu tidak bisa diterima begitu saja, Rion. Kamu harus belajar untuk datang tepat waktu. Sekarang, kamu harus menjalani hukuman. Berdiri di luar kelas sampai pelajaran selesai."
Meskipun Rion mencoba menjelaskan kembali, Pak Faisal tidak berubah pikiran. Rion akhirnya berdiri di luar kelas, merasa sangat terhina dan sedih. Selama jam pelajaran, pikirannya dipenuhi dengan rasa ketidakadilan dan putus asa.
Saat bel istirahat berbunyi, murid-murid keluar dari kelas untuk menikmati waktu istirahat mereka. Namun, Rion tetap berdiri di luar kelas, tampak terpukul. Tanpa disadari oleh teman-temannya, Rion menuju kantin, mengambil pisau dari tempat penyimpanan alat-alat dapur, dan pergi ke tempat yang lebih sepi di belakang sekolah.
Venesya dan Syifa yang sedang berbicara di kantin melihat Rion berjalan dengan wajah yang sangat pucat dan tergesa-gesa. Mereka merasa ada yang tidak beres dan memutuskan untuk mengikutinya.
Saat mereka sampai di belakang sekolah, mereka melihat Rion berdiri dengan pisau di tangannya. "Rion, apa yang kamu lakukan?" teriak Syifa dengan panik.
Rion berbalik, air mata mengalir di wajahnya. "Aku sudah tidak tahan lagi. Aku hanya mencoba membantu orang lain, tapi aku dihukum dan tidak ada yang percaya padaku."
Venesya mendekat dengan hati-hati, mencoba berbicara dengan tenang. "Rion, tolong letakkan pisaunya. Kita bisa menyelesaikan ini bersama-sama. Kami percaya padamu."
Sementara itu, murid lain yang kebetulan melihat kejadian tersebut segera berlari untuk mencari bantuan. Dalam beberapa menit, Guru Kelas Rion dan beberapa guru lainnya tiba di lokasi. Mereka dengan cepat mengambil alih situasi dan menenangkan Rion.
Rion akhirnya melepaskan pisaunya dan jatuh terduduk, menangis terisak-isak. Guru Kelasnya, yang kini menyadari kesalahannya, mendekati Rion dan memeluknya. "Maafkan aku, Rion. Aku seharusnya mendengarkan penjelasanmu dengan lebih baik."
Kejadian tersebut menyebar cepat ke seluruh sekolah, membuat semua orang terguncang. Kepala sekolah segera mengumpulkan semua siswa di aula untuk memberikan penjelasan dan mengajarkan pelajaran penting tentang etika dan moral.
Dalam pertemuan tersebut, kepala sekolah berbicara dengan penuh keseriusan, "Kita harus belajar untuk percaya dan mendengarkan satu sama lain. Tindakan Rion menunjukkan bahwa kadang-kadang kita terlalu cepat menghakimi tanpa mencari tahu kebenaran. Kita harus memahami pentingnya etika dan moral dalam setiap tindakan kita."
Setelah pertemuan itu, Venesya dan Syifa mendekati Rion, yang masih tampak sedih tetapi sudah lebih tenang. "Kami di sini untukmu, Rion. Kamu tidak sendiri," kata Venesya sambil merangkulnya.
Rion tersenyum lemah. "Terima kasih, teman-teman. Aku merasa lebih baik sekarang."
Hari itu, seluruh sekolah belajar pelajaran berharga tentang pentingnya kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Venesya dan Syifa berjanji untuk selalu mendukung teman-teman mereka dan memastikan bahwa kebenaran selalu diutamakan di atas segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Philosopher : Next Generation
Novela JuvenilVenesya, seorang gadis remaja berusia 11 tahun, pindah dari kota romantis Venesia, Italia ke sebuah kota kecil di Indonesia karena pekerjaan ayahnya. Awalnya, Venesya merasa canggung dan kesulitan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan barunya. Na...