Suasana di Pojok Berpikir sore itu terasa berbeda. Venesya, Syifa, Yasmin, Dista, dan Mario berkumpul di ruangan yang telah menjadi tempat mereka merenung dan berbagi pemikiran. Di bawah bimbingan Pak Ahmad Averroes, mereka telah banyak berdiskusi tentang berbagai topik, mulai dari filsafat hingga sains, tetapi hari ini ada sebuah pertanyaan yang menggelitik pikiran mereka: "Apakah takdir itu?"
Pak Ahmad membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan sederhana, namun dalam: "Apa yang kalian pahami tentang takdir?"
Syifa, yang selalu penuh semangat, menjadi yang pertama angkat bicara. "Menurutku, takdir adalah sesuatu yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Kita harus menjalani apa yang sudah ditetapkan untuk kita, baik itu suka maupun duka."
Venesya mengangguk, tetapi ia terlihat merenung sejenak sebelum berbicara. "Aku setuju, tapi aku juga merasa bahwa kita memiliki kendali atas beberapa bagian dari hidup kita. Mungkin takdir itu seperti jalan utama yang harus kita lalui, tapi kita punya pilihan untuk menentukan langkah kita di sepanjang jalan itu."
Pak Ahmad tersenyum mendengar pemikiran kedua siswi ini. "Kalian berdua memiliki pandangan yang menarik. Ada banyak pandangan tentang takdir dalam berbagai tradisi filsafat. Ada yang percaya bahwa takdir adalah sesuatu yang tetap dan tidak bisa diubah, sementara yang lain percaya bahwa meskipun ada takdir, kita tetap memiliki kehendak bebas untuk membuat keputusan."
Yasmin, yang biasanya lebih pendiam, kali ini terlihat tergerak untuk berbicara. "Kalau begitu, bagaimana kita bisa tahu apakah sesuatu yang terjadi dalam hidup kita adalah bagian dari takdir atau hasil dari keputusan kita sendiri?"
Dista, yang sudah mulai pulih dari penyakitnya dan merasa lebih kuat, ikut memberikan pendapat. "Mungkin itu sebabnya takdir adalah sesuatu yang sulit dipahami. Kita tidak tahu apa yang sudah ditentukan dan apa yang bisa kita ubah. Tetapi aku merasa, apapun yang kita hadapi, cara kita menanggapinya adalah bagian dari tanggung jawab kita."
Mario, yang baru-baru ini berjuang melawan ketakutannya dan berusaha untuk bangkit dari masa-masa sulit, mengangguk setuju. "Dulu aku berpikir kalau semua yang buruk terjadi padaku adalah takdir yang kejam. Tapi sekarang, aku merasa bahwa meskipun itu adalah bagian dari takdir, aku masih punya pilihan untuk bangkit atau menyerah."
Pak Ahmad menatap mereka dengan mata penuh kebanggaan. "Kalian semua telah menyentuh inti dari pertanyaan besar ini. Takdir mungkin memberikan kita tantangan dan situasi yang tak terelakkan, tetapi cara kita meresponsnya, bagaimana kita belajar, tumbuh, dan berubah, adalah di tangan kita sendiri."
Kemudian, Pak Ahmad mengambil sebuah buku dari rak dan membukanya di halaman yang telah ditandai. "Dalam beberapa tradisi filsafat, ada yang percaya bahwa takdir dan kebebasan bukanlah hal yang saling bertentangan, tetapi saling melengkapi. Takdir mungkin memberikan kita situasi tertentu, tetapi kebebasan kita adalah bagaimana kita memaknainya dan bertindak."
Venesya menatap Pak Ahmad dengan mata yang berbinar. "Jadi, pada akhirnya, takdir adalah sesuatu yang kita jalani, tetapi makna dari perjalanan itu adalah sesuatu yang kita ciptakan?"
Pak Ahmad tersenyum dan mengangguk. "Tepat sekali, Venesya. Itulah keindahan dari kehidupan. Kita mungkin tidak bisa memilih semua hal yang terjadi pada kita, tetapi kita selalu bisa memilih bagaimana kita akan menjalaninya."
Diskusi sore itu berlanjut dengan penuh antusiasme. Setiap anggota kelompok Pojok Berpikir berbagi pengalaman pribadi mereka, merenungkan momen-momen dalam hidup mereka yang mungkin merupakan bagian dari takdir, dan bagaimana mereka telah memilih untuk menghadapi tantangan yang muncul.
Venesya mengenang masa-masa di Venesia, di mana ia merasa sangat jauh dari rumah, namun juga menemukan banyak pelajaran berharga yang membentuk dirinya saat ini. Syifa menceritakan tentang perjuangan keluarganya, yang meskipun sulit, telah membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat dan penuh semangat. Yasmin berbagi kisah tentang kehilangan seorang teman, dan bagaimana rasa kehilangan itu mendorongnya untuk lebih menghargai momen-momen kecil dalam hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Philosopher : Next Generation
Teen FictionVenesya, seorang gadis remaja berusia 11 tahun, pindah dari kota romantis Venesia, Italia ke sebuah kota kecil di Indonesia karena pekerjaan ayahnya. Awalnya, Venesya merasa canggung dan kesulitan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan barunya. Na...