Venesya duduk di salah satu sudut favoritnya di Pojok Berpikir, ruang perpustakaan kecil di sekolahnya yang selalu menjadi tempatnya mencari kedamaian dan inspirasi. Di pangkuannya, terbuka sebuah buku berjudul *What is Right? What is Wrong? Who Decides?: A Journey through the Land of Moral Philosophy* karya Michael Rosen. Judulnya menarik perhatian Venesya, terutama karena topik moralitas selalu membuatnya penasaran, terutama setelah berbagai kejadian di sekolahnya.
Sambil membaca halaman demi halaman, Venesya mendapati bahwa buku ini membawa pembaca pada perjalanan melalui berbagai pemikiran filosofis tentang moralitas. Dari relativisme moral hingga absolutisme, Rosen dengan cerdas mengeksplorasi pertanyaan mendasar tentang apa yang benar dan salah, serta siapa yang berhak untuk memutuskan hal tersebut.
Venesya teringat pada berbagai situasi di sekolahnya. Ia ingat bagaimana ia dan teman-temannya seringkali dihadapkan pada dilema moral, baik di dalam kelas maupun di lingkungan sosial mereka. Ada saat-saat ketika bullying terjadi, dan kebanyakan anak-anak memilih untuk diam, sementara hanya segelintir yang berani bersuara. Ada pula momen ketika ketidakadilan terlihat jelas, tetapi tidak ada tindakan yang diambil oleh pihak berwenang.
Salah satu bab dalam buku itu membahas tentang dilema moral yang klasik: *Trolley Problem*. Bagaimana jika seseorang harus memilih antara membiarkan lima orang tertabrak kereta, atau mengorbankan satu nyawa untuk menyelamatkan mereka? Dilema ini membuat Venesya berpikir keras tentang bagaimana kita menentukan mana yang lebih baik dalam situasi yang sulit. Apakah moralitas itu sesuatu yang mutlak, ataukah tergantung pada situasi dan perspektif?Venesya kemudian mulai memandang sekolahnya sebagai "tanah moral" yang disebutkan dalam buku itu. Di sini, ada berbagai norma dan aturan yang diikuti oleh siswa dan guru, tetapi apakah aturan itu selalu mencerminkan apa yang benar dan salah? Atau apakah ada saat-saat ketika aturan itu sendiri perlu dipertanyakan?
Ia teringat pada kejadian di kelas ketika seorang temannya dihukum meskipun dia sebenarnya berusaha membantu seseorang yang membutuhkan. Hukuman itu mungkin sesuai dengan aturan, tetapi apakah itu adil? Apakah itu benar secara moral? Venesya mulai memahami bahwa moralitas bukan hanya tentang mengikuti aturan, tetapi juga tentang mempertanyakan aturan tersebut dan memastikan bahwa mereka sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebaikan.Di sekolah, sering kali terjadi situasi di mana seseorang harus memutuskan apakah akan bertindak demi kebaikan atau demi kepentingan pribadi. Venesya menyadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan di sekolah, baik yang besar maupun kecil, memiliki dampak moral. Bahkan dalam hal sederhana seperti membantu teman yang kesulitan atau berbicara saat melihat ketidakadilan, ada pilihan moral yang harus dibuat.
Venesya mulai memahami bahwa moralitas bukanlah sesuatu yang sederhana. Ia adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi dan kesadaran. Dari buku Rosen, ia belajar bahwa moralitas melibatkan pemahaman tentang berbagai perspektif, serta keberanian untuk bertindak sesuai dengan apa yang kita yakini benar, meskipun itu sulit. Ketika ia menutup buku dan mempersiapkan diri untuk pulang, Venesya merasa bahwa ia telah mengambil langkah penting dalam perjalanannya memahami apa itu moralitas.
Ia tahu bahwa masih banyak yang harus dipelajari dan dipikirkan, tetapi kini ia memiliki fondasi yang lebih kuat untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip moral dalam kehidupan sehari-harinya di sekolah dan di luar. Dengan pikiran yang penuh pemikiran baru, Venesya meninggalkan Pojok Berpikir, siap untuk melihat dunia sekitarnya dengan pandangan yang lebih mendalam dan penuh rasa ingin tahu tentang apa yang benar dan apa yang salah, serta bagaimana ia bisa berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil dan baik bagi semua orang di sekitarnya.
Venesya memasuki Pojok Berpikir dengan langkah ringan, membawa buku *What is Right? What is Wrong? Who Decides?* karya Michael Rosen yang baru saja ia baca. Hari ini, ia berencana untuk mendiskusikan gagasan-gagasan yang didapatnya dengan Pak Ahmad Averroes, guru filsafat yang sering membimbing siswa-siswi di ruang ini. Bagi Venesya, Pojok Berpikir bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang untuk berdiskusi secara mendalam tentang ide-ide yang meresahkan benaknya.
Saat ia mendekati meja Pak Ahmad, gurunya tersenyum. "Ada yang ingin kamu bahas, Venesya?" tanya Pak Ahmad, sudah bisa membaca niat Venesya dari ekspresi serius di wajahnya.
"Ya, Pak," jawab Venesya sambil duduk. "Saya baru selesai membaca buku ini, dan ada banyak hal tentang moral yang saya ingin pahami lebih dalam."
Pak Ahmad mengangguk penuh perhatian. "Apa yang ingin kamu bahas dari buku itu?"Venesya membuka bukunya, melihat catatan yang telah ia buat. "Buku ini membahas tentang pertanyaan dasar mengenai moralitas. Apa yang benar? Apa yang salah? Siapa yang memutuskan? Dan ini membuat saya berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi di sekolah kita. Saya merasa, kadang-kadang ada hal yang salah terjadi, tapi tidak ada yang benar-benar bertindak. Apakah itu karena kita takut? Atau mungkin kita tidak tahu bagaimana seharusnya bertindak?"
Pak Ahmad mendengarkan dengan seksama, lalu merespons dengan bijak. "Pertanyaan-pertanyaanmu bagus sekali, Venesya. Moralitas, pada dasarnya, adalah tentang bagaimana kita memilih untuk bertindak dalam situasi tertentu. Dan dalam konteks sekolah, moralitas sering kali diukur dari bagaimana kita memperlakukan satu sama lain."
Venesya mengangguk pelan. "Saya sering melihat teman-teman di sekolah mengalami hal-hal yang tidak adil. Seperti saat bullying terjadi, atau ketika seseorang dihukum meskipun dia sebenarnya tidak bersalah. Tapi kebanyakan dari kami diam saja, mungkin karena takut atau bingung."
"Diam memang sering kali menjadi respons yang paling mudah," jawab Pak Ahmad. "Tapi itu tidak berarti selalu benar. Ada kalanya, kita harus berdiri melawan ketidakadilan. Moral bukan hanya soal apa yang kita tahu, tetapi juga tentang keberanian untuk bertindak."
Venesya kemudian menceritakan tentang pengalamannya ketika melihat bullying di sekolah, tentang teman-temannya yang diam saja meskipun tahu bahwa itu salah. "Apakah dengan diam, kami juga bersalah secara moral, Pak?" tanyanya dengan sedikit ragu.
Pak Ahmad tersenyum. "Itu pertanyaan yang dalam. Dalam filsafat moral, ada konsep yang disebut *moral responsibility* atau tanggung jawab moral. Dalam beberapa kasus, ketika kita tahu ada ketidakadilan terjadi dan kita tidak bertindak, kita mungkin ikut bertanggung jawab secara moral, meskipun kita tidak melakukan kesalahan secara langsung. Tindakan pasif, seperti membiarkan sesuatu yang salah terus terjadi, bisa jadi bentuk ketidakadilan itu sendiri."Venesya tampak berpikir keras. "Jadi, bagaimana kami seharusnya bertindak di sekolah ini? Bagaimana kami bisa membuat lingkungan yang lebih adil?"
"Pertama-tama," Pak Ahmad menjawab, "penting untuk memahami bahwa tindakan moral tidak selalu besar atau dramatis. Terkadang, tindakan kecil, seperti mendukung teman yang sedang dirundung atau melaporkan perilaku buruk kepada guru, sudah merupakan langkah moral yang signifikan."
Venesya merasa tercerahkan, tetapi masih ada keraguan dalam dirinya. "Tapi, bagaimana jika kami dihukum karena melawan sistem? Misalnya, jika seseorang melaporkan tindakan buruk dan justru dianggap mengganggu atau berlebihan?"
Pak Ahmad menatapnya dengan lembut. "Itu memang tantangan dalam kehidupan sosial. Sistem sering kali tidak sempurna, dan keberanian untuk berdiri melawan ketidakadilan bisa menghadapi risiko. Namun, moralitas adalah tentang keberanian untuk tetap berpegang pada kebenaran, meskipun ada konsekuensi. Apa yang benar sering kali tidak mudah, tapi itulah inti dari tanggung jawab moral."
Venesya merasa kata-kata Pak Ahmad menginspirasi. Ia berpikir tentang bagaimana dirinya bisa mulai dari hal kecil, mungkin dengan mendekati teman-teman yang membutuhkan dukungan, atau sekadar berbicara dengan lebih banyak orang tentang pentingnya bertindak adil."Jadi, menurut Bapak," kata Venesya pelan, "bagaimana saya bisa mulai menerapkan apa yang saya pelajari ini di sekolah? Apa langkah pertama yang bisa saya ambil?"
Pak Ahmad tersenyum lebar. "Langkah pertama adalah selalu bertanya pada diri sendiri: Apa yang benar dalam situasi ini? Dan apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mewujudkannya? Jika kamu terus berpikir seperti itu, tindakanmu akan menjadi refleksi dari pemahaman moral yang lebih dalam."
Venesya tersenyum. Ia tahu, perjalanan moralitas ini baru saja dimulai. Dan dengan dukungan dari Pak Ahmad dan teman-temannya di Pojok Berpikir, ia merasa siap untuk mencoba membuat sekolahnya menjadi tempat yang lebih baik, satu tindakan moral kecil demi tindakan moral lainnya.
Seiring mereka menutup diskusi, Pak Ahmad berkata, "Moralitas tidak hanya soal apa yang kita yakini benar atau salah, tapi juga tentang bagaimana kita hidup dengan keyakinan itu. Ingatlah, moralitas sejati selalu melibatkan tindakan."
Venesya mengangguk penuh keyakinan. "Saya mengerti, Pak. Terima kasih banyak."Dengan pikiran yang semakin terbuka dan semangat untuk bertindak, Venesya meninggalkan Pojok Berpikir, siap menghadapi tantangan moral yang ada di sekolahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Philosopher : Next Generation
Teen FictionVenesya, seorang gadis remaja berusia 11 tahun, pindah dari kota romantis Venesia, Italia ke sebuah kota kecil di Indonesia karena pekerjaan ayahnya. Awalnya, Venesya merasa canggung dan kesulitan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan barunya. Na...