Di pagi hari yang cerah, suasana di sekolah terasa sedikit muram bagi Dista. Teman baiknya, Shellyn, baru saja pindah ke kota lain karena pekerjaan orang tuanya. Dista duduk sendirian di bangku taman, mengenang kenangan-kenangan indah bersama Shellyn.
"Shellyn selalu ada untukku," gumam Dista pada dirinya sendiri. "Dia selalu mendukungku, terutama saat aku merasa kesulitan."
Dista mengenang saat-saat di mana Shellyn dengan senyum lembutnya membantu Dista belajar untuk ujian, atau saat mereka tertawa bersama di rumahnya. Kenangan-kenangan itu membuat hati Dista terasa hangat, tetapi juga sedikit sedih karena menyadari bahwa hari-hari itu telah berlalu.
Di sisi lain sekolah, Venesya juga merasakan hal yang serupa. Setelah melihat Dista yang tampak murung, Venesya teringat akan teman-temannya di Venesia, Italia. Ia duduk di bangku kosong di dekat jendela kelas, memandang ke luar dengan mata yang penuh nostalgia.
"Teman-temanku di Venesia... Aku merindukan mereka," pikir Venesya. "Mereka selalu membuatku merasa diterima dan dicintai, meskipun aku kadang merasa berbeda."
Venesya ingat bagaimana mereka sering berkumpul di taman kota, berbicara tentang segala hal mulai dari sekolah hingga mimpi-mimpi masa depan mereka. Ia ingat bagaimana mereka selalu mendukungnya, terutama saat ia merasa canggung atau kesulitan beradaptasi.
Melihat Venesya yang termenung, Syifa mendekat dan duduk di sebelahnya. "Kamu baik-baik saja, Venesya?" tanya Syifa dengan lembut.
Venesya tersenyum tipis. "Aku hanya teringat teman-temanku di Venesia. Kadang-kadang aku sangat merindukan mereka."
Syifa mengangguk. "Aku mengerti. Pindah ke tempat baru dan meninggalkan teman-teman lama memang tidak mudah. Tapi kamu punya teman-teman baru di sini, termasuk aku."
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kehangatan matahari pagi yang menembus jendela. Tak lama kemudian, mereka melihat Dista yang masih duduk sendirian di taman. Venesya mengajak Syifa untuk mendekati Dista dan berbicara dengannya.
"Dista, kamu baik-baik saja?" tanya Venesya dengan nada penuh perhatian.
Dista menatap mereka dan tersenyum lemah. "Aku hanya merindukan Shellyn. Dia adalah teman baikku, dan rasanya aneh tanpa kehadirannya."
Venesya duduk di samping Dista, diikuti oleh Syifa. "Aku mengerti perasaanmu. Aku juga sering merindukan teman-temanku di Venesia," kata Venesya. "Tapi kita harus ingat bahwa teman-teman sejati selalu ada dalam hati kita, meskipun mereka tidak selalu berada di dekat kita."
Syifa menambahkan, "Teman sejati tidak pernah benar-benar pergi. Mereka meninggalkan kenangan indah dan pelajaran berharga yang selalu bisa kita bawa ke mana pun kita pergi."
Mendengar kata-kata Venesya dan Syifa, Dista merasa sedikit lebih baik. "Kalian benar. Shellyn mungkin sudah pindah, tapi kenangan dan kebaikan hatinya selalu ada bersamaku. Dan aku juga beruntung punya teman-teman seperti kalian."
Mereka bertiga kemudian duduk bersama di taman, berbagi cerita tentang teman-teman mereka dan kenangan indah yang pernah mereka alami. Suasana menjadi lebih ringan dan penuh dengan tawa.
Pagi itu, suasana di sekolah terasa khidmat dan penuh semangat. Semua siswa berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara bendera rutin. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, dan langit biru yang cerah menambah kesan tenang pagi itu. Venesya, Syifa, Dista, dan teman-teman mereka berdiri tegap di barisan, siap mengikuti upacara.
Setelah prosesi pengibaran bendera yang berjalan lancar, tiba saatnya Ibu Kepala Sekolah, Bu Hertien, memberikan amanat kepada seluruh siswa. Bu Hertien adalah sosok yang disegani dan dihormati oleh semua siswa dan guru di sekolah.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Philosopher : Next Generation
Ficção AdolescenteVenesya, seorang gadis remaja berusia 11 tahun, pindah dari kota romantis Venesia, Italia ke sebuah kota kecil di Indonesia karena pekerjaan ayahnya. Awalnya, Venesya merasa canggung dan kesulitan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan barunya. Na...