☠️☠️☠️
Kami sampai di rumah Jay cukup malam, karena perjalanannya yang lumayan jauh. Aku turun dari mobil Diangkat oleh Jay ke kursi roda. Baru saja aku turun, keluarga julidnya Jay itu keluar satu per satu dari pintu depan. Siap-siap telinga panas mendengar kata-kata pedas dari mereka.
"KAK JO!" Di luar perkiraan, Rehan si anak kurang waras itu berlari menerjang keluarganya yang berbaris hendak menuju ke arahku. "Kak Jo udah boleh pulang? Kok, boleh, Bang?" Dia menoleh ke Jay di belakangku yang mendorong kursi roda.
"Iya, dia nggak mau lama-lama di rumah sakit. Katanya mau dirawat di rumah sama aku." Jay ini ingin aku tebas kepalanya detik ini saja. Kalau orang tuanya dengar, bisa-bisa kami dikira betulan pasangan suami-istri yang bahagia.
"Idih, bisa aja penganten baru!" cibir Rehan yang membuat geleng-geleng kepala.
"Udah pulang dari rumah sakit, ternyata. Berapa banyak uang yang kamu mau karena udah jadi pahlawan buat cucu saya, hah?!" Belum juga berjalan masuk ke dalam, aku sudah mendapat sendirian pedas dari Oma si nenek lampir ini.
"Oma apaan, sih. Joan baru pulang, loh, udah dimarahin aja. Lagian Jay sangat-sangat berterima kasih sama Joan, kok." Jay berusaha membelaku di depan omanya. Padahal, aku sama sekali tidak memerlukan pembelaan yang ia lakukan itu. Bagiku, biarlah mereka sepuas hati mencemooh dan mempermalukan aku. Biar pisauku yang pada akhirnya berbicara pada mereka.
"Halah, kamu itu udah dicuci otaknya sama ini perempuan, Jay. Lagian Mbak Sarah dapet dari mana, sih, wanita kayak begini?! Wanita yang nggak jelas asal-usulnya. Sekarang Tante tanya sama kamu, emangnya kamu tahu dia dari latar belakang keluarga seperti apa? Pastinya nggak setara sama kita. Dia aja cuma pelayan hotel. Itu pun entah kerja sebagai pelayan, atau nyari pelanggan!" Ingin kutarik rasanya mulut julid-nya Tante Anita ini. Dia menelan cabai berapa kilo?
"Tante, tolong jaga omongannya. Mau seperti apa pun Joan, dia tetap istri aku. Maaf, kami permisi pulang ke paviliun." Jay kemudian mendorong kursi rodaku setelah mengatakan itu pada Tante Anita. Dia membawaku menuju samping rumah, lalu ke arah belakang. Tepatnya ke paviliun, seperti yang ia bilang tadi.
Sampai di dalam, Jay menghentikan kursiku di ruang tamu. Dia duduk di sofa yang ada di depanku. "Maafin Tante Anita sama Oma, ya," ucap Jay padaku.
"Kenapa emangnya? Toh, mereka bener. Gue emang nggak jelas asal-usulnya. Kalo ternyata gue adalah keturunan teroris yang berbahaya gimana?" tanyaku balik. Itu juga karena ibunya yang merebut kepala keluarga yang harusnya bertanggung jawab atas aku dan Mama. Kalau tidak karenanya, mungkin sekarang aku hidup harmonis dengan latar belakang keluarga yang jelas.
"Eum ... kalau itu fakta, aku bakalan berusaha buat nggak percaya. Kalau suatu saat beneran, dan kamu punya niat jahat ke aku, aku yakin kamu nggak akan tega ngelakuinnya, karena aku suami kamu, Jo," ucap Jay dengan enteng. Wah sayang sekali, dugaan Anda salah, Tuan Jay. Siapa yang bilang aku akan meloloskan keparat seperti kalian? Tidak akan!
"Gue mau tidur." Aku melakukan kursi rodaku sendiri lewat ban yang aku dorong.
"Nanti dulu. Kamu belum makan dari rumah sakit tadi. Aku bikinin bubur bentar, ya. Bentar ... doang, kok! Tunggu di sini." Jay berlari kecil ke dapur tanpa mengajakku. Ada-ada saja, padahal aku juga tidak nafsu makan. Mau bagaimana lagi, kamarku terletak di atas, sedangkan aku tidak bisa naik ke atas sendirian. Nah tidak mau aku harus menunggu Jay untuk membantuku naik tangga.
Aku akhirnya mendorong sendiri kursi rodaku ke dapur. Terlihat Jay sedang mengaduk sesuatu di sebuah panci kecil. Manusia yang sangat kurang kerjaan. Iyalah, untuk apa dia repot-repot membuatkan aku bubur? Toh, nantinya aku akan membalas kebaikannya dengan sebuah penghianatan.
"Udah nggak sabar, ya? Bentar lagi siap, kok," ucap Jay yang masih menyiapkan mangkok dan belum menghadapku. Dia membelakangiku.
"Udah males malahan kalo lo lama banget. Gue keburu pengen rebahan ini." Biarkan saja kata-kata pedasmu menusuk hatinya.
"Sabar, Sayang. Tinggal taruh bawang merah, dan ... jadi!" serunya yang kemudian membawa semangkuk bubur dan segelas air padaku. Dengan mengembuskan napas malas aku meraih mangkok itu, tetapi malah ditarik lagi oleh Jay. "Eh? Mau ngapain?" tanyanya.
"Ya, makanlah! Masa mau berak!"
"Makan sendiri? No no no! Aku suapin." Jay kemudian langsung berjongkok di depan aku yang masih duduk di kursi roda dan menaruh gelas yang ia bawa tadi di lantai.
"Gue bisa makan sendiri elah!" Aku cemberut karena sebal dengan sikapnya yang memanjakanku seolah aku anak SD yang tidak bisa makan sendiri.
"Iya, aku tahu kamu bisa. Tapi kamu masih lemas, Jo. Yuk, buka mulutnya. A ..." Jay membuka mulutnya, menyuruhku menirukan apa yang ia lakukan. Ia menyodorkan satu sendok bubur padaku.
Dengan penuh keterpaksaan aku melahap bubur yang ada di sendok itu dengan kasar. Sembari mengunyah dengan perlahan. Eum ... tidak terlalu buruk bubur buatan Jay. "Enak, ya? Sampe senyum gitu?" tegur Jay yang membuatku langsung memasang wajah datar. Aku hanya teringat bubur buatan mamaku yang dulu selalu ia buat untukku.
"Nggak. Biasa aja," jawabku seadanya.
Tak lama kemudian, bubur sudah aku habiskan setengah mangkok. Itu saja sudah membuatku kenyang. "Udah, gue udah kenyang," ucapku menutup mulut dengan tangan karena Jay hendak menyuapkan lagi, lagi, dan lagi.
"Udah? Oke, deh." Dia kemudian mengambilkan segelas air putih tadi dan aku segera meminumnya.
Dia meletakkan mangkok bubur dan segelas air tadi ke meja dapur. Lalu dengan tiba-tiba ia menggendongku. Aku hanya diam saja tanpa beraksi apa-apa.
Sampai di kamarku, Jay meletakkan aku di ranjang. Bukannya pergi, ia malah diam dan memperhatikan aku. "Ya, udah keluar! Ngapain masih di sini?" tanyaku.
Tanpa menjawab, Jay mengambil selimut yang ada di bawah kakiku, lalu menyelimuti aku. "Aku nggak mau istriku kedinginan. Selamat tidur, ya. Makasih buat yang kamu lakuin ke aku hari ini." Jay tersenyum, dan itu membuatku muak.
"Iya, bawel banget! Udah sono keluar!" Aku berteriak lalu berpura-pura tidur dengan memejamkan mata.
Suara langkah kaki Jay memulai menjauh. Terdengar juga ia mematikan saklar lampu kamar yang ada di sebelah pintu. Menyisakan lampu tidur yang menyala di atas meja yang ada di sampingku. Pintu kemudian terdengar ditutup.
☠️☠️☠️
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Shadow [On Going]
Mystery / Thriller[STORY 8] GENRE: ROMANCE - THRILLER TEMA: MARRIAGE LIFE Berawal dari kebencian masa lalu, kini membawanya menjadi gadis yang penuh dendam dan amarah. Joanna Aurifa Stephany, seorang mahasiswa semester akhir yang juga merangkap sebagai pembunuh bay...