☠️ 15. Incident

35 5 0
                                    

☠️☠️☠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☠️☠️☠️

Aku sudah rapi mengenakan kemeja kotak-kotak warna biru yang terbuka dengan dalaman kaos putih polos.

Seperti biasa, Jay sedang sarapan di bawah. "Main nyelonong aja. Nggak sarapan?" tanya Jay saat aku berlalu di depannya. Aku memang sangaja diam, karena malu dengan kejadian semalam. Kejadian di mana seolah-olah aku tengah menggodanya.

"Mau ke kampus, ada kelas pagi." Aku lanjut berjalan melaluinya. Namun, Jay segera berdiri dan mengejarku. Bahkan sekarang ia menahan tanganku.

"Joan, tunggu. Aku anterin, ya? Kebetulan hari ini aku libur, nggak ada kelas. Nggak ada job juga." Ucapannya membuatku menatap Jay keheranan.

Aku segera menepis tangannya yang menggenggam pergelangan tanganku. "Nggak usah. Gue bisa berangkat sendiri. Lagian, kalo temen-temen kampus tahu gue keluar dari mobil lo apa kata mereka entar? Yang ada gue dikira pembantu lo lagi."

"Ya, nggak apa-apa. Mungkin udah waktunya dunia tahu kalau kamu istri aku." Dengan ekspresi datar ia berbicara seperti itu? "Yuk." Jay menarik tanganku tiba-tiba.

"Eh ... enggak mau! Lepasin!"

Sekuat tenaga aku berusaha memberontak, Jay tetap saja membawaku ke halaman depan, tepatnya ke mobilnya yang sudah siap dengan mesin yang menyala. "Masuk." Nada bicara Jay seketika langsung datar. Dengan mengembuskan napas malas aku menuruti maunya. Argh! Harusnya aku langsung nyelonong pergi saja tadi, tidak perlu berhenti dan berbincang dengan Jay.

Sampai di dalam mobil, ternyata ada Rehan yang duduk di bangku belakang. Bahkan, ia sudah rapi mengenakan seragam putih abu-abunya. Anak itu nyengir ketika aku menoleh padanya. "Halo, Kak. Cemberut aja, nih," goda bocah itu padaku. Aku hanya melipat tanganku di dada.

"Lo pikir aja sendiri. Kenapa lo biarin gue dibawa sama cowo gadungan itu, hah?!" Aku berteriak padanya. Namun, seperti biasa, dia hanyalah bocah SMA yang bisanya cengengesan.

"Hehe, kan, gue mabok, Kak. Maaf, deh. Lagian lo juga, sih, minumnya kebanyakan, jadi pas diajak mau-mau aja." Bocah satu ini malah menyalahkan aku.

Tak lama kemudian, Jay ikut masuk ke dalam mobil. Sepertinya dia baru berbincang dengan mamanya. "Denger, ya. Aku enggak mau kejadian ini keulang lagi." Jay menegur kami berdua yang saling diam. "Aku yang bingung harus cari alasan apa ke Oma."

"Ya, elah. Santai aja, Bang. Lo kayak nggak pernah seusia gue aja." Rehan seakan menantang kakaknya yang sedang memarahinya ini. Dasar bocah.

Aku hanya bisa tutup kuping mendengar perdebatan saudara ini. Nyatanya, suara mereka makin terdengar jelas. "Kamu jangan pernah ngajak istri aku ke club lagi."

"Lah, kok, gue? Gue sama sekali nggak pernah ngajak Kak Joan ke club, Bang. Gue aja diajak sama Kak Joan." Rehan sebisa mungkin membela diri agar tidak dimarahi oleh kakaknya itu. Hiss! Kenapa dia terlalu jujur dan membawa-bawa namaku, sih?!

Jay kemudian kembali menoleh padaku, dengan tatapannya yang penuh curiga itu. Seakan bertanya apakah pernyataan yang dikatakan Rehan itu benar. "Iya. Gue yang ngajak Rehan ke club."

"Udahlah, Bang, jangan dipermasalahin lagi. Lagian, kan, Kak Jo udah ada di samping lo. Jangan berisik, deh, Bang. Ngantuk gue denger ocehan lo." Rehan kemudian lanjut tidur di bangkunya. Ternyata bocah itu sangat bar-bar.

"Jangan diulangi, ya." Jay bertutur kata lembut padaku, seperti aku sungguhan istrinya saja.

Aku hanya diam dan tidak membalas Jay. Siapa dia berani mengaturku untuk tidak pergi ke club lagi? "Gue denger, woi! Kalo mau bucin jangan di sini! Kasian gue yang jomblo ini!" teriak Rehan yang masih berbaring dan menutupi mata dengan lengannya.

"Anak kecil mending belajar aja, jangan pacar-pacaran," jawab Jay. Bocah itu jadi diam seketika.

Mobil berhenti mendadak tiba-tiba. Membuat kami jadi nyungsep ke depan. "Awh! Pelan-pelan, dong!" Aku merintih saat keningku terbentur dasbor mobil.

"Itu ... ada orang di depan," tunjuk Jay ke depan. Ternyata memang ada beberapa orang mengenakan baju serba hitam juga penutup kepala seperti topeng. Mereka begal?

"M-mereka siapa, Bang?" tanya Rehan yang sangat takut.

Beberapa orang yang membawa balok kayu itu menghampiri mobil Jay. Apa jangan-jangan ini adalah orang dari agensi rahasia lain yang ingin menyelakai Jay juga?

"Woi, turun!" Dua orang di sisi kanan dan kiri pintu mobil mengetuk-ngetuk kaca mobil, mereka bersiap memecahkan kaca kalau kami tak keluar.

"Bang, gue takut." Rehan terus-terusan ketakutan.

"Terpaksa kita turun bentar, ya. Yuk." Jay mengajakku dan Rehan turun. Ia sudah hendak membuka pintu mobil.

"Apaan? Turun terus nyerahin semuanya? Lo gila?!" Aku tentu terkejut melihat Jay yang hanya pasrah menyerahkan seluruh harta yang ia punya di mobil.

Laki-laki ini memang dari kecil tidak pernah merasakan susahnya cari uang. Jadi dia pasrah pasrah saja ketika dirampok. "Iyalah! Aku lebih sayang nyawaku, Jo." Jay bersikeras ingin keluar. Orang-orang di luar juga berulang kali mengetuk kaca jendela.

"Ish!" Aku terpaksa keluar juga mengikuti perintah Jay.

Di jalanan yang sepi, para orang bertopeng itu masing-masing memegangi tangan kami. Kami sudah seperti tahanan sekarang.

Aku ikut sedih melihat Jay harus merelakan barang-barang di dalam kocilmua dikuras habis oleh sebagian orang tadi. Begitu juga Rehan. Bocah itu sangat ketakutan.

Tak ada pilihan lagi.

Dengan keras aku menendang orang yang memegangi tanganku ini. Satu per satu perhatian orang-orang itu beralih padaku. Aku terlibat perkelahian dengan empat orang pria. Aku mengangkis pukulannya yang hendak mendarat di wajahku. Satu per satu aku menonjok mereka.

Jay juga tiba-tiba menghajar orang yang tadi memegangi tangannya. Ish, kenapa dia juga ikut-ikutan, sih? Sudah tahu dirinya itu cemen!

Aku menendang beberapa orang yang menyerangku tadi hingga satu per satu dari mereka jatuh. Di sisi lain, aku melihat Jay terpental hingga ia terbaring karena dihajar orang yang berkelahi dengannya.

Orang yang ingin menyerang Jay itu mengeluarkan pisaunya. "Jay, awas!" Aku segera berlari menuju Jay untuk mencegah orang yang akan menusuk Jay. "ARHG!" Sayangnya tusukan pisau itu malah mengenai perutku.

"JOANNNN!" Jay berteriak melihat aku yang menahan sakit dan memegangi perutku yang bersimbah darah.

"KAK JOAN!" Begitu juga Rehan yang berlari menghampiri aku dan Jay.

Aku masih tersadar, merasakan kalau Jay yang masih menangis itu memindahkan tubuhku ke pangkuannya. "Joan ... bertahan, ya, Sayang."

Pandanganku jadi kabur, semuanya tidak bisa aku rasakan lagi. Aku memejamkan mata dan tidak sadarkan diri.

☠️☠️☠️

☠️☠️☠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Midnight Shadow [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang