[STORY 8]
GENRE: ROMANCE - THRILLER
TEMA: MARRIAGE LIFE
Berawal dari kebencian masa lalu, kini membawanya menjadi gadis yang penuh dendam dan amarah.
Joanna Aurifa Stephany, seorang mahasiswa semester akhir yang juga merangkap sebagai pembunuh bay...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
☠️☠️☠️
Pagi hari diawali dengan ritme anak tangga yang berdecit karena aku lewati. Sayangnya di dalam kamarku tidak ada kamar mandi. Jadi, aku tidak tahu sama sekali letak kamar mandi di paviliun ini.
Di bawah sudah ada suara berisik dari peralatan dapur yang saling beradu, karena digunakan oleh Jay.
Aku kemudian duduk di meja makan. Dengan rambut yang masih acak-acakan dan mata yang masih sedikit lengket. "Bagi sebat, dong!" ucapku pada Jay yang sedang sibuk memasak. Untungnya ia tak menyalakan kamera atau live instagram.
Pagi hari ini mulutku terasa sepat. Rasanya pahit. Mungkin kalau diawali dengan rokok akan sedikit manis. "Sebat?" tanya Jay yang menoleh bingung. Tidak mungkin ia tak punya rokok. "Rokok maksud kamu?" tanyanya lagi.
"Iyalah! Cepetan bagi."
"Oh ... aku nggak merokok. Nggak boleh sama Mama."
Sudah kuduga. Anak manja sepertinya pasti tak dibolehi menyentuh rokok oleh mamanya. Mana berani ia melawan mamanya yang super bawel itu. Terlebih lagi omanya.
"Kamu padahal cewe, kok, merokok, sih?" tanya Jay yang sedang mengaduk makanan. Entah apa yang sedang ia masak.
Lalu apa maksud perkataannya tadi? Aku lupa, dimatanya aku hanyalah gadis polos yang bekerja sebagai pelayan di gedung acara pernikahannya kemarin. "Emang kenapa kalau gue cewek? Sebat cuma boleh buat cowo doang, gitu?"
"Y-ya, nggak juga, sih. Aku kira kamu hidup sehat selama ini."
Persetan dengan hidup sehat. Masih bernapas saja aku sudah bersyukur. Lagipula merokok, kan, bukan berarti tidak sehat. "Gue nggak sepolos yang lo kira."
"Iya-iya. Nih, makan nasi goreng bikinan aku." Jay meletakkan satu piring yang berisi nasi goreng di hadapanku.
Nasi gorengnya terlihat menarik. Ada suwiran ayam dan juga telur dadar yang dipotong kecil-kecil. "Ini lo yang bikin?" tanyaku.
"Iya, dong. Kamu bisa masak?"
"Nggak," jawabku singkat. Aku memperhatikan nasi goreng buatannya. Siapa tahu ada racunnya, kan? Tidak ada yang tahu.
"Nggak ada racunnya, kok. Mana mungkin aku ngeracunin istri aku sendiri?" Seperti tahu isi pikiranku yang penuh curiga, Jay menegurku yang hanya memperhatikan nasi gorengnya. Dia bahkan makan dengan lahap terlebih dulu. "Ini aku cobain duluan, biar kamu percaya kalau ini nggak ada racunnya."
"Berhenti panggil gue sebagai istri lo."
Jay tertawa, padahal ia sedang makan. "Ha-ha ... kan, aku udah bilang, kalau mau gimanapun kamu itu tetap istri aku. Terus mau dipanggil apa? Sayang-nya aku, gitu?" tanya Jay yang membuatku bergidik geli.
"Najis." Aku hanya menjawab singkat kemudian kembali fokus menyantap nasi goreng buatan Jay. Dikunyah perlahan, rasanya memang tidak terlalu buruk. Kalau kata Gen Z 'notbad'. "Lagian lo kenapa, sih, selalu aja nyebut gue istri? Gue ini nggak bakalan selamanya jadi istri lo. Suatu saat, kalau Jessica udah balik, kita bakalan cere!" Aku kembali menegaskan fakta yang sebenarnya. Meski tahu, jika saat itu tiba, aku harus sudah membuatnya tak bernapas lagi.
"Aku sama Jessica itu sahabat dari kecil. Dia jelas-jelas bukan tipeku. Aku sayang ke dia, ya ... cuma sebatas adik. Kalau yang jadi istriku sekarang ini orangnya secantik kamu, laki-laki mana yang mau nolak coba?"
I see. Itu sebabnya Jay sama sekali tidak masalah jika posisi pengantinnya digantikan olehku. Namun, bukan berarti karena dia tidak menyukai Jessica, lantas ia tak punya rasa cemas sama sekali dengan hilangnya gadis itu. Maksudku, Jay bisa-bisanya fokus menjalani rutinitasnya sedangkan salah satu orang terdekatnya menghilang.
Atau jangan-jangan ... hilangnya Jessica adalah rencana Jay?!
"Terus kenapa lo nggak nyari Jessica? Bahkan lo nggak panik sedikit pun karena dia ilang," tanyaku.
"Karena Oma nggak ngebolehin aku nyari. Dia pengen aku fokus sama kuliah dan karir aku." Jawaban Jay masuk akal. Namun, aku tetap harus berhati-hati dengannya. Sepertinya Jay tidak seremeh yang aku pikir. "Ini susunya jangan lupa diminum." Jay kembali menaruh segelas susu putih di hadapanku. Apa ia kira aku ini anak kecil yang sedang dalam masa pertumbuhan?!
"Gue bukan anak kecil. Air putih aja udah cukup."
"Susu, kan, bagus buat tulang. Nggak cuma buat anak kecil."
"Terserah lo." Aku lanjut memakan nasi gorengnya. Dilihat-lihat, Jay sudah rapi pagi-pagi begini. Dia memasak nasi goreng memakai kemeja, meski tadi ia memakai celemek. Mau ke mana ia sepagi ini?
"Aku berangkat mau kerja dulu, ya?" pamitnya sembari menyisihkan piring yang ia pakai sarapan barusan.
"Kerja? Bukannya lo kerja di rumah?" tanyaku. Memang benar, kan? Selebgram itu biasanya melakukan endors di rumah.
"Enggak. Aku ambil tawaran iklan hari ini. Kita, kan, udah nikah, otomatis aku bertanggung jawab atas kamu. Jadi, aku harus double kerjanya." Jay tersenyum dengan deretan giginya yang terlihat putih. Padahal ia tak bekerja giat pun, harta keluarganya sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kami.
"Ya, udah, deh. Kerja yang rajin, cari duit yang banyak biar bisa ternak lele."
"Kamu mau ternak lele?" tanya Jay dengan nada serius. Kaga! Mau ternak dugong gue!
"Nggaklah gila! Cuma becanda gue."
Lagian aneh, masa iya pembunuh bayaran banting setir jadi ternak lele. "Oh, kirain beneran. Kamu ada kuliah hari ini?"
"Nggak. Gue di rumah aja." Sekalian mau nyelidiki keluarga lo soalnya, hahah!
"Oke, aku berangkat dulu, ya. Jangan lupa kunci paviliunnya kalau kamu mau keluar. Nggak usah bersih-bersih atau cuci piring, nanti ada Mbak yang kerjain itu semua. Aku nggak mau kamu repot."
"Idih, siapa juga yang mau beresin paviliun ini?!"
Baguslah kalau nanti ada pembantu yang bertugas membersihkan paviliun, jadi aku tak perlu mengotori tanganku dengan debu-debu itu.
☠️☠️☠️
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.