☠️9. Revan's Special Women

60 8 0
                                    

☠️☠️☠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☠️☠️☠️

Jantungku mulai tak terkendali. Sebisa mungkin aku menyangkal, kemungkinan besar Ayana tahu kalau ini kaos milik Jay. "Apaan, sih, Na. Kan, gue udah bilang kalau ini kaos gue. Gue beli di pasar murah meriah, pas di kantong miskin kayak gue. Lo nggak percayaan amat, deh."

"Iya mungkin, ya." Ayana lalu diam dan fokus bermain handphone-nya. Entah ia percaya atau tidak, pasti dia sangat yakin kalau ini kaos milik Jay. Mana kebesaran di badanku, aku pasti terlihat seperti orang-orangan sawah.

Setelah itu, dosen pun datang. Kami kemudian melanjutkan kelas seperti biasa.

...

Selesai kelas memang cukup sore. Pinggangku rasanya encok karena terlalu duduk. Aku sekarang sudah keluar dari kelas dan hendak menuju ke depan. Di depan sana, aku melihat Revan sedang duduk di depan mobilnya sembari menghisap sebatang rokok. Ish, sudah tahu ini adalah kampus bebas asap rokok, malah merokok di sana. Bisa kena tergiur satpam nanti!

"Woi!" Aku meneriaki Revan dari kejauhan sembari berlari padanya.

"Akhirnya lo keluar juga. Udah lumutan gue nungguin lo tau nggak." Revan membuang asap rokok yang barusan ia hisap.

"Masuk mobil sekarang. Ini kawasan bebas rokok, Anjing!" umpatku lalu masuk ke mobilnya terlebih dulu, diikuti oleh Revan kemudian.

Kami berdua sekarang sudah di dalam mobil. "Santai, Jo, kalo ketahuan bisa langsung gue bunuh orangnya," ucap Revan enteng. Membunuh nyawa manusia sudah seperti membunuh seekor nyamuk saja.

"Gila. Lo yang bilang gue jangan gegabah, lo sendiri tambah parah. Bagi rokoknya." Tanpa aba-aba aku mengambil sendiri sebungkus rokok yang terletak di depanku.

Dengan santai aku menarik satu batang dan aku bakar dengan korek api punya Revan. Ah, menghisap rokok merupakan hal nikmat untuk sejenak melupakan masalah yang ada.

"Hadeh, Jo ... Jo. Lo mending berhenti ngerokok dari sekarang, deh."

Aku langsung menoleh dengan cepat saat mendengar Revan mengucapkan itu. Tumben ia menyuruhku berhenti merokok, karena biasanya aku dan dia berlomba menghabiskan sebungkus rokok ketika selesai menjalankan misi. "Apa maksud lo? Pelit lo sama gue sekarang?"

"Eh, nggak gitu, Jo. Maksud gue itu baik, kasian rahim lo. Ntar kalo lo nggak bisa punya anak gimana?"

"Sejak kapan lo mikirin gue?" tanyaku yang masih menikmati rokok.

"Dari dulu gue juga udah mikirin lo kali, Jo. Lo-nya aja yang nggak peka."

"Masa bodo sama rahim. Gue nggak akan mau punya anak. Lagian, kan, lo tahu kalo gue anti sama anak kecil," jawabku. Ya, memang bisa dibilang begitu. Punya planning menikah saja tidak pernah ada dalam otakku, apalagi sampai punya anak.

Midnight Shadow [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang