☠️8. Leave Together

57 9 0
                                    

☠️☠️☠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☠️☠️☠️

Aku segera menutupi pundak sebelah kananku dengan telapak tangan. Padahal, mau ditutup rapat pun Jay sudah melihatnya. "Kenapa bisa berdarah, Jo? Sini, aku obatin." Jay dengan sigap mengambil kotak P3K yang ada di bangku belakang. "Coba bajunya dibuka yang bagian pundak."

Karena tidak mau, aku segera menutupi lagi lukaku meski masih tertutup. "Nggak perlu, cuma luka kecil elah, lebay lo!"

"Joan ... luka kecil itu jangan disepelein, bisa tambah parah kalau nggak diobati." Jay tetap kekeh dengan pendiriannya, bahkan sekarang dia membuka baju bagian pundakku. "Lah, ini luka serius, loh, Jo."

Terpaksa aku diam saat Jay mengoleskan alkohol dan obat merah di lukaku. Semoga ia tidak bertanya dari mana aku mendapat luka itu. Aku mengalihkan pandangan ke arah luar jendela mobil, karena tak ingin melihatnya mengobati lukaku. "Ternyata cukup dalem lukanya," gumam Jay yang tak aku tanggapi. Akhirnya, ia menempelkan plaster di luka yang sudah ia bersihkan darahnya. "Nah, udah selesai."

"Ya, udah cepet jalan," ketusku. Sudah selesai bukannya jalan malah terdiam. Laki-laki aneh.

"Jangan lupa ucapin terima kas-"

"Males. Lo yang kekeh pengen ngobatin gue, kenapa gue yang harus repot? Ribet idup lo. Udah, cepet jalan. Gue ada kelas."

Dipikir-pikir dia ini terlalu banyak basa-basi. Jangan harap aku mau mengucapkan terima kasih padanya. Salah sendiri mau mengobati lukaku, aku tidak meminta ia melakukan itu.

Mobil kemudian berjalan. Kami saling diam untuk beberapa saat. "Aneh, kamu, kok, nggak kesakitan waktu aku obatin tadi?" tanya Jay. Entahlah, mungkin karena sudah terlalu sering mendapat luka sayatan, aku jadi tak terlalu merasa perih.

"Kan, gue udah bilang kalau itu luka kecil. Lagian gue nggak secengeng itu kali, lo-nya aja yang lebay."

"Eum ... gitu, toh." Jay mengangguk seolah paham. "Tapi ... emangnya kamu kerja apa? Kok, sampai ada luka sayatan begitu?"

Haduh, segala ia bertanya begitu. Aku harus jawab apa?! "Gue jadi copet di pasar. Kenapa? Lo nggak suka punya istri tulang copet?!"

"Seriusan?" tanya Jay seakan tak percaya.

"Stop! itu haltenya." Aku menunjuk ke halte sepi yang ada di depan. Saat aku menyipitkan mata dan memperhatikan lebih teliti, ternyata ada Revan di sana.

Mobil Jay berhenti dan aku segera turun. "Nanti pulangnya bareng, ya. Aku tungguin." Baru saja aku ingin membuka pintu, Jay sudah berpesan seperti itu. Pulang dengannya? Hah, mimpi saja sana!

"Males. Gue bisa pulang sendiri." Aku segera turun sebelum berdebat lebih panjang dengannya. Lagipula, aku, kan, nanti mau ke kontrakan terlebih dulu.

"Eh, Jo!" Revan berteriak memanggil dan melambai padaku. Aku langsung berjalan menuju Revan.

"Kok, lo tahu gue bakalan berhenti di halte ini?" tanyaku pada Revan. Sedangkan Jay sudah pergi duluan ke kampus.

"Tadinya gue mau jemput ke rumah suami lo. Eh, takutnya nanti lo langsung di tendang sama dia. Ya, udah gue nunggu di sini."

Aku mengangguk paham mendengar penjelasannya. "Tumben lo bawa mobil agensi. Lo ada misi hari ini?" tanyaku. Sebuah mobil Jeep berwarna hitam yang sering Revan pakai kalau ada misi. Harusnya dia tidak mengambil misi apa pun saat ini, karena misi membunuh Jay saja belum selesai. Namun, itu hak Revan sebenarnya mau mengambil job atau tidak. Toh, tanpa aku pun dia lebih ahli.

"Sengaja, buat jemput lo. Basket, yuk? Mumpung gue free, nih. Lama juga kita nggak main basket," ajak Revan. Astaga, aku mengira ia akan ada misi.

Ya, kami memang sering bermain basket jika sedang senggang. Tumbuh bersama Revan, membuat hobinya itu jadi hobiku juga. "Boleh, deh. Itung-itung biar otak gue bisa istirahat bentar. Oh, iya, gue ke kampus duluan, ya. Udah hampir masuk ini dosennya. Gue pulang jam empat sore. Ntar tunggu aja di sini."

"Oke, beres."

Aku kemudian berjalan ke kampus yang jaraknya tidak terlalu jauh. Revan juga telah pergi menaiki mobilnya entah ke mana.

Sampai di kampus, ternyata masih sepi. Aku segera menuju kelas, semoga tidak terlambat. "Joan!" Suara cempreng yang barusan memanggil namaku itu membuatku menoleh. Kukira siapa, ternyata Ayana. Seperti biasa, dengan baju feminim dan super aesthetic itu ia berjalan mengejarku.

"Joan!" Dia terlihat ngos-ngosan saat sampai di sampingku. Kenapa dengan gadis satu ini. Tingkahnya seperti ada berita negara yang sangat penting saja.

"Apaan, dah? Lo abis ngejar maling apa gimana lari-larian begitu."

"Nggaklah, gila," jawab Ayana. Kami berjalan ke kelas bersama-sama. "Lo tau, kan, kalau Jay udah nikah?" tanya Ayana lagi. Astaga, kukira ada berita penting. Tiap kali bertemu dengan Ayana, ia tak pernah absen membicarakan Jay. Jay itu sudah seperti presiden baginya, sampai harus jadi buah bibir tiap saat.

"Nggak tau, nggak penting juga." Aku lanjut berjalan tanpa mendengarkan ceritanya.

"Ih ... Joan! Coba, lo ngerasa ada yang aneh, nggak? Jay itu nikahnya sama cewe lain, bukan sama Jessica. Mana cewenya ditutup pake cadar pas akad, jadi gue nggak tahu wajahnya. Jessica ke mana, ya? Kok, bisa tiba-tiba ilang pas hari pernikahannya. Terus ... cewe mana yang beruntung bisa nikah sama Jay? Gue penasaran banget. Lo nggak penasaran apa, Jo?" Ayana menyenggol lenganku.

Andai lo tahu, Na, kalau Jay itu nikahnya sama gadis pembunuh bayaran kayak gue. Apa mungkin lo bakalan se-excited itu? Gadis brengsek kayak gue nikah sama idola lo, Na. Dunia itu, kan?

"Nggak. Bodo amat, gue nggak pernah ngurusin selebgram-selebgram atau apalah itu," jawabku sembari duduk di bangku kelas. Mendengar ocehan Ayana yang tidak terlalu penting itu ternyata tak terasa kami sudah sampai di kelas.

"Engh ...." Ayana bergumam sembari memperhatikan kaos yang aku pakai. Astaga, Ayana memperhatikan sampai menyipitkan mata begitu. Apa ia tahu kalau ini kaos milik Jay? Mungkin saja, kan, kaos ini pernah dipakainya dan Ayana mengenali. Ayana itu sangat mengidolakan Jay dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"K-kenapa, Na?" tanyaku kikuk. Bagaimana kalau emang Ayana tahu, bisa-bisa heboh satu kampus.

"Gue kayak pernah liat kaos yang lo pake ini, deh. Tapi di mana, ya ...." Ayana terlihat masih memikirkan jawaban dari pertanyaannya itu. Gadis ini sangat tidak mudah menyerah ternyata.

"Di mana-mana ada. Orang ini gue beli di pasar, seratus ribu dapet tiga. Murah ini, gampang robek juga." Alasan yang sangat masuk akal. Semoga saja Ayana percaya.

"Oh ... gitu, ya?" tanya Ayana. Syukurlah kalau dia percaya.

"Iya."

"Eh, tapi ... seriusan, Jo, gue kayak pernah liat kaos ini dipake sama ...."

☠️☠️☠️

☠️☠️☠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Midnight Shadow [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang